Ikuti Kami

Soekarno dan Orang-Orang yang Berlari di Minggu Pagi

Oleh: Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya, Eri Irawan. 

Soekarno dan Orang-Orang yang Berlari di Minggu Pagi
Soekarno Run yang digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/1/2025).

Jakarta, Gesuri.id - Saat ribuan orang berlari bersama dari garis start menuju finish, tak ada lagi perbedaan yang diciptakan dan dikategorikan oleh kelas sosial. Setiap orang hanya disatukan oleh keinginan untuk menyelesaikan apa yang sudah diawali. 

Tak perlu harus ada pemenang jika ini bukan kompetisi atletik, karena pada dasarnya berlari adalah upaya untuk menaklukkan diri sendiri. Kita teringat penulis Jepang Haruki Murakami: “In long-distance running the only opponent you have to beat is yourself, the way you used to be.” Saat berlari, satu-satunya lawan yang harus kita kalahkan adalah diri kita sendiri.

Saat berlari, orang melupakan kebencian. Setiap orang disibukkan dengan dirinya sendiri tanpa harus mengganggu yang lain, karena kita menuai apa yang kita mulai. Ini seperti metafora kehidupan. 

Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional

Itulah kenapa Soekarno Run yang digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/1/2025), sangat relevan mengambil tema “Satyam Eva Jayate”(pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang), dengan subtema “Berlari di Atas Kaki Sendiri”; meskipun ini sebuah fun run. Pada dasarnya tema tersebut seperti menerjemahkan apa yang diajarkan Bung Karno, bahwa kerja keras adalah kunci kemerdekaan dan keberhasilan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Dan kemerdekaan adalah awal dari keberhasilan. Tidak ada keberhasilan tanpa kemerdekaan, karena ketidakbebasan senantiasa menciptakan ketergantungan.

“Ini menunjukkan bagaimana spirit berlari di atas kaki sendiri ditunjukkan oleh para pemuda-pemudi di Kota Surabaya. Kota Pahlawan, Kota Revolusi. Namanya lari, kita tidak bisa meminjam pihak lain, kita harus mengandalkan kekuatan kita,” kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Krisyanto yang bergabung bersama ribuan orang pada Minggu pagi itu.

Eksistensi sejati manusia, salah satunya, bisa kita temukan pada saat berlari: sendiri di antara keramaian. Kita harus mengandalkan kemampuan sendiri, dan tak bisa meminta belas kasihan orang lain untuk menggantikan. Sekali kita digantikan, maka eksistensi kita sebagai pelari selesai sampai di sini. Apapun hasil yang dicapai orang yang menggantikan kita bukanlah hasil kita, tak bisa diklaim atas nama kita. Kita hanya akan dikenang sebagai sosok yang gagal menyelesaikan apa yang telah kita mulai.

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan PDI Perjuangan Tetap Kokoh

Mereka yang mengakhiri perlombaan adalah mereka yang bekerja keras dan berlatih rutin penuh tempaan keras di atas aspal jalanan. Kerja keras yang tak hanya menjadi tindakan, namun juga kebiasaan yang pada akhirnya menjadi kultur. Berlari di jalanan mengajarkan itu semua. Seperti kata filsuf Aristoteles, “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” Keunggulan dan kedigdayaan bukanlah suatu tindakan, bukan bergantung dari siasat dan bantuan orang lain, melainkan buah dari kebiasaan-kebiasaan baik yang terus kita jalankan.

Jarak yang ditempuh Ahad pagi itu hanya lima kilometer. Namun lima kilometer itu adalah pertaruhan konsistensi dan eksistensi. Tidak akan ada yang memuji saat berhasil atau meledek kita saat berhenti di tengah jalan. Kita bebas melakukan apa saja. Berlari hingga akhir atau berhenti di tengah jalan.

Pada akhirnya, berhenti atau terus berlari menjadi tanggung jawab moral kita, sebagaimana kehidupan. Sebab, aktivitas berlari sendiri secara harfiah bukan hanya berarti melangkahkan kaki.Berlari adalah sebuah filosofi, bahwa hanya dengan kesabaran dan kesadaran, hidup bisa dijalani. Tujuan ditetapkan, kaki dilangkahkan. Kemudian kita membiarkan sejarah berjalan bersama kita.

Baiklah, kalau begitu. Mari kita selesaikan apa yang kita telah mulai.

Quote