PEMILU serentak tahun 2019 telah berlangsung damai, aman lancar. Meskipun banyak kekurangan di sana-sini untuk dievaluasi.
Seperti: kurangnya surat suara, minimnya sosialisasi cara pencoblosan karena masih banyak masyarakat di pedesaan yang kebingungan cara memilih, mengingat banyaknya surat suara. Terutama banyaknya pilihan nama Caleg.
Di tengah kondisi yang kondusif pasca Pemilu 2019, setidaknya hingga 1 hari setelah pencoblosan, masih ada upaya segelintir kelompok yang belum bisa move on dan ingin 'bikin rame' atau gaduh suasana. Tentu saja, yang ingin memperkeruh suasana damai itu adalah mereka yang belum bisa menerima kenyataan karena jagoannya kalah di Pilpres untuk ketiga kalinya.
Segala cara dilakukan mereka agar suasana chaos terjadi. Salah satunya dengan menghalalkan upaya apapun agar euforia kemenangan sementara Paslon 01 di hitung cepat 12 lembaga survei kredibel berubah menjadi isu kemenangan hasil klaim mereka.
Untuk mensukseskan itu, di darat, mereka memobilisasi massa pendukung untuk mengarahkan people power seperti aksi mahasiswa tahun 98. Di udara, narasi yang dibangun di media sosial: tidak percaya hasil quick count, menjadikan foto sotosop hasil QC di TV sebagai rujukan, dan menuding curang.
Selain itu, mereka menyebar berulang-ulang cetakan form C1 yang dicetak sendiri terus diisi sendiri dengan memenangkan jagoannya 100 persen (tapi lupa menambahkan tanda tangan KPPS).
Komitmen untuk mewujudkan Pemilu damai dari kubu 02 patut dipertanyakan. Dan di situ inkonsistensi terlihat dari pernyataan Prabowo yang di satu sisi ia meminta para pendukungnya untuk tenang dan tidak terprovokasi, namun di sisi lain percaya bisikan timnya, dengan menyampaikan hasil survei internal mereka yang memenangkan 02 di angka 62 persen. Dengan amat pedenya Prabowo dan para pendukungnya melakukan sujud syukur mengklaim kemenangan (seperti yang dilakukan saat Pilpres 2014).
Kubu 02 terus memainkan framing untuk meyakinkan para pendukungnya, agar tidak percaya lembaga survei yang memenangkan lawan dan mengarahkan untuk percaya survei internal/tim ahli IT-nya. Lucunya lagi, saking frustasinya, mereka membuat gerakan mematikan TV dan menuding semua TV sudah dibayar.
Arahnya jelas. Sejak awal jauh sebelum Pilpres dihelat, skenario busuk yang mereka mainkan jika tanda-tanda kekalahan itu semakin nyata dan di survei Prabowo-Sandi selalu tertinggal jauh, yaitu dengan mendelegitimasi KPU yang dianggap tidak becus menyelenggarakan Pemilu karena banyaknya kecurangan, kisruh pemilu di luar negeri, dan bla..bla..
Intinya, ujung dari semua drama itu adalah menggerakkan people power. Dan mengacaukan situasi politik nasional dengan harapan terjadi chaos antara massa pendukung dengan aparat TNI-Polri. Harapan mereka selain tidak mengakui hasil Pemilu yang mereka tuding sarat dengan berbagai kecurangan, sehingga Pemerintahan hasil Pemilu 2019 tidak legitimated.
Sebuah kedunguan akut dengan menolak hasil quick count (QC) dari lembaga survei yang resmi terdaftar di KPU dan memiliki reputasi baik. Menolak QC sama saja menolak tradisi ilmiah yang sudah menjadi pakem di setiap hajat Pemilu. Dari berbagai pengalaman 3 kali Pilpres sejak digunakan pertama kali pada Pemilu tahun 2004, dan tentunya sudah digunakan banyak lembaga survei dalam menghitung cepat ribuan Pilkada, 99 persen hasilnya selalu akurat dan tidak pernah meleset.