Jakarta, Gesuri.id - Bukan rahasia apabila Provinsi Bali merupakan basis PDI Perjuangan. Dalam lima kali Pemilu yang digelar di era reformasi, PDI Perjuangan selalu keluar sebagai pemenang.
Tak heran pula, apabila hampir semua Kongres PDI Perjuangan digelar di Pulau Dewata.
Bukan tanpa sebab apabila Bali seperti menjadi pulau para loyalis PDI Perjuangan yang setia. Sebab loyalitas pada PDI Perjuangan itu dilatarbelakangi oleh loyalitas warga Bali pada figur Soekarno yang menjadi junjungan ideologis PDI Perjuangan.
Ya, Bali memang menjadi basis Soekarnois sejak pemilu pertama di Republik ini digelar pada 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang didirikan Soekarno, menang telak di Bali.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan warga Bali loyal pada Soekarno.
Pertama, faktor ideologis. M.C. Ricklefs dalam karyanya berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), memaparkan bahwa pada 1950-an terjadi pertentangan ideologis yang kuat diantara partai-partai politik. Secara garis besar, pertentangan itu terjadi diantara partai-partai yang pro Pancasila dengan partai-partai yang pro Negara Islam.
Dan apabila dikerucutkan, masing-masing kubu direpresentasikan oleh PNI (pro Pancasila) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi (pro Negara Islam).
Dengan begitu, kekuatan Masyumi dipandang sebagai representasi kelompok Islamis. Dan lawan ideologis yang dinilai mampu menyeimbangkan Masyumi hanya PNI.
Hal itu membuat berbagai kalangan yang tak sepakat dengan politik Islamisme bersandar pada PNI. Tak terkecuali kalangan minoritas agama di Indonesia, seperti warga Hindu Bali.
“PNI mendapat banyak dukungan di daerah-daerah Kristen di luar Jawa dan di Bali yang menganut agama Hindu, di mana juga terdapat ketidaksepakatan terhadap Islamisme,” ujar Ricklefs.
Dukungan warga Bali pada PNI itu pun semakin kuat karena Soekarno dinilai memiliki jasa pada Hindu Bali. Soekarno, yang memang memiliki komitmen kuat pada kebangsaan, berperan besar agar Hindu Bali diakui sebagai agama oleh negara.
Soekarno mendukung petisi warga Bali pada 1958 yang menuntut pembentukan seksi Hindu-Bali dalam Departemen Agama. Pada 1 Januari 1959, Pemerintahan Presiden Soekarno membentuk Bagian Urusan Hindu Bali dalam Departemen Agama, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Hal itu menandakan Hindu Bali menjadi salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Kedua, faktor emosional. Bali merupakan tempat leluhur Soekarno. Ibunda Soekarno, Ida Nyoman Rai atau Idayu merupakan wanita asal Buleleng, Bali.
Bahkan, Soekarno masih merupakan keturunan raja Singaraja yang turut berperang melawan Belanda dalam perang Puputan. Hal itu diungkapkan Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
Ketiga, faktor birokrasi. Sebagai partai yang dipandang partai pemerintah di era Presiden Soekarno, wajar apabila PNI juga mendapat dukungan para birokrat di Bali. Hampir semua birokrat di Bali mendukung PNI, yang dipandang sebagai partainya Soekarno sekaligus partai pemerintah.
Dukungan para birokrat itu membuat PNI mudah mengungguli lawan-lawan politiknya di Bali. Hal itu terungkap dalam catatan I Ngurah Suryawan berjudul Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara (2010).
Ketiga faktor itulah yang membuat Bali menjadi basis Soekarnois. Loyalitas warga Bali pada Soekarno tak mampu dipatahkan, meski pada enam kali pemilu di era Orde Baru, kekuatan politik Soekarnois tak mampu memenangkan kompetisi. Wajar, sebab seluruh pemilu di era Orde Baru tak lebih dari sandiwara politik guna melegitimasi kemenangan Golkar selaku partai penguasa kala itu.
Setelah Orde Baru runtuh, masyarakat Bali kembali menunjukkan loyalitas mereka pada Soekarno dengan mendukung partai yang dipandang sebagai reinkarnasi PNI, yakni PDI Perjuangan.