Jakarta, Gesuri.id - Baru-baru ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Pertahanan, beberapa kalangan masyarakat masih mendambakan Khilafah dan menolak Pancasila. Bahkan, hal itu juga terjadi dikalangan pegawai negeri sipil dan TNI.
Di kalangan Pegawai Negeri Sipil ada 19,4 persen yang mendambakan Khilafah. Bahkan di kalangan TNI, ada kurang lebih 3 persen yang tak setuju Pancasila. Bila benar, tentu hal itu sangat membahayakan.
Baca: Tidak Ada Khilafah, Tapi Kholifah dalam Pandangan Bung Karno
Soal Khilafah, Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Bung Karno sudah mengutarakan pandangannya puluhan tahun lalu. Bung Karno menegaskan era kekhilafahan atau zaman khalifah tidaklah sepatutnya didambakan umat Islam.
Berikut pandangan Soekarno mengenai hal itu seperti yang tertulis dalam Surat-Surat Islam Dari Ende (DBR Jilid I, 1964) :
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?"
Jadi, menurut Bung Karno, seharusnya umat Islam harus "berlari ke depan". Bukan kembali ke zaman khalifah atau khilafah.
Hal itu kembali ditegaskan Bung Karno, masih dalam sumber yang sama. Bung Karno menegaskan bahwa Islam adalah kemajuan. Bukan tenggelam dalam masa silam yang dianggap sebagai masa kebesaran.
"Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!”
Tampak jelas bahwa Bung Karno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang ‘kembali ke era khalifah’ sebagai tolok ukur kemajuan Islam.
Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan api Islam bukanlah Islam yang kuno. Api Islam bukanlah Islam yang 'ngotot' kembali ke zaman Khalifah.
"Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
Maka jelaslah bahwa Bung Karno beranggapan sistem Khilafah yang dipimpin seorang Khalifah sudah tak cocok diterapkan di Indonesia atau wilayah manapun. Bung Karno dalam hal ini kagum dengan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1920-an. Gerakan Kemal Attaturk ini berhasil menghapuskan Kekhilafahan Turki Utsmani pada 1924.
Sejak saat itu, Turki berkembang menjadi negara modern.
Baca: Pemikiran Bung Karno dan Islam
Bung Karno pun beranggapan, apabila umat Islam ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka tak mesti kembali pada sistem Khilafah. Menurutnya sistem kekhalifahan sudah tak layak lagi untuk era kekinian.
Seperti diketahui, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia, yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam.
Dengan demikian keberadaan khilafah akan menghancurkan negara-bangsa seperti Indonesia yang berdasar Pancasila.