Mataram, Gesuri.id - Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah bertemu dan belajar langsung kepada ulama kharismatik Tuan Guru Turmudzi Badarudin di Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Kamis (28/7).
Pertemuan tersebut dimanfaatkan Basarah untuk membicarakan isu-isu kebangsaan dan Islam, mulai dari topik Pancasila sampai kepemimpinan masa depan Indonesia.
‘’Saya ditugaskan dan diutus Ibu Megawati Soekarnoputri untuk bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu karena pesantren ini memiliki sejarah besar dalam moderasi Islam dan demokrasi Indonesia. Di tempat inilah dulu pernah digelar Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 17-20 November 1997. Salah satu rekomendasi Munas ini adalah tentang kedudukan perempuan dalam Islam,’’ jelas Ahmad Basarah tentang kunjungannya ke pesantren tersebut, Jumat (29/7).
Baca: Basarah Puji Polri Tetapkan Pancasila Jadi Mata Kuliah Wajib
Dalam pertemuan itu, Tuan Guru Turmudzi Badarudin yang mengenakan sorban, peci, dan baju serba putih menjelaskan kembali peran pondok pesantren yang dipimpinnya dalam menyelenggarakan Munas yang sangat monumental itu. ‘
’Munas alim ulama itu seperti mengakhiri debat panjang tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam. Munas itu mengafirmasi keseteraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, juga mengakui kelebihan-kelebihan tertentu pada diri perempuan saat menjadi pemimpin,’’ jelas ulama kharismatik berusia 87 tahun itu.
Tuan Guru Turmudzi yang pernah melanjutkan pendidikan agamanya di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi, selama enam tahun, adalah salah satu alim ulama yang paling mendukung keputusan Munas tersebut.
‘’Saya datang ke Lombok ini juga ingin menggali lebih jauh lagi tentang fatwa dibolehkannya perempuan menjadi presiden di negeri kita,’’ jelas Ahmad Basarah, yang juga Dosen Universitas Islam Malang itu.
Dalam pertemuan yang dihadiri Sekretaris Umum PP Bamusi Nasyirul Falah Amru itu, Tuan Guru Turmudzi memberikan poin-poin penting tentang bagaimana relasi agama dan negara, terutama bagaimana peranan dan kedudukan kepemimpinan perempuan menurut sudut pandang Islam.
Kepemimpinan perempuan dalam Islam memang pernah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Ada pro dan kontra di dalamnya. Padahal, dalam Alquran telah jelas menyebutkan betapa besar peran perempuan sebagai pemimpin, misanya disebutkan dalam QS al-Naml/27: 23.
Di sana Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya aku mendapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka. Dia dianugerahi segala sesuatu dan mempunyai singgasana yang besar." Jelas Tuan Guru Turmudzi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kisah raja atau kepemimpinan perempuan dalam Al Quran diceritakan dalam tiga ayat berturut-turut dalam surah al-Naml, dimulai dari ayat 22, ayat 23, dan finalnya ayat 24. Merujuk pada ayat 22, 23, dan 24 pada surah Al-Naml tersebut menurut ulama kharismatik itu yang menjadi dasar penerimaan Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI pada tahun 2001-2003 lalu.
“Tuan Guru Turmuzi adalah penghafal Al-Qur'an 30 juz dengan kualitas hafalan luar biasa. Beliau memiliki banyak kelebihan sehingga apa yang keluar dari pemikiran beliau dapat kita yakini memiliki landasan keilmuan yang luas, termasuk soal kepempinan perempuan dalam Islam,” tandas Basarah yang juga wakil ketua Lakpesdam PBNU itu.
Tuan Guru Turmudzi juga menyinggung sejarah Nusantara, tepatnya di Aceh yang disebut sebagai Serambi Makkah, bahwa masyarakat di sana juga tidak pernah punya masalah terkait kepempinan perempuan dalam Islam. Di Nusantara, Aceh sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara, sekaligus menjadi salah satu wajah Islam di Indonesia, memperlihatkan bagaimana hak politik perempuan mendapatkan tempatnya dalam Islam.
Baca: Basarah Ajak Mahasiswa Perkuat Ideologi Nasional
Alim ulama dan masyarakat Aceh tidak pernah menolak kerajaan dipimpin oleh seorang raja perempuan atau disebut ratu. Buktinya, dalam sejarah ada empat perempuan yang pernah memimpin Kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai tahun 1699, yaitu Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678), Sri Ratu Zaqiyatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699).
Diterimanya raja perempuan dalam Islam bukan tanpa alasan, tapi juga berdasarkan kearifan seorang ulama karismatik asli Aceh, Syaikh Abdul Rauf as-Singkili, atau dikenal dengan nama Syiah Kuala (1591-1996) yang bergelar qadli malikul adil, yaitu hakim raja yang adil. Syiah Kuala adalah seorang ulama ahli tafsir dan fiqih asal Aceh yang terkenal dalam sejarah penulisan tafsir di Indonesia sebagai penulis tafsir Al-Qur'an lengkap 30 juz pertama dalam bahasa Melayu dengan judul Tarjuman al-Mustafid.
“Artinya, sekarang tidak ada lagi alasan untuk mempertentangkan kepemimpinan perempuan dalam Islam untuk bangsa Indonesia. Selain landasan agama sesuai fatwa alim ulama NU, pemimpin perempuan juga memiliki landasan sejarah seperti antara lain yang diperlihatkan di Aceh. Ditambah lagi, ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara kita juga tidak melarang perempuan menjadi pemimpin”, pungkas Ahmad Basarah.