Jakarta, Gesuri.id - Indonesia memiliki sejarah tradisi keilmuwan Islam yang ditulis dalam bahasa Jawa dan itu diakui oleh para ulama dunia, khususnya ulama di negara-negara Arab.
Salah satu tokoh tersebut ialah K.H Soleh Darat, guru dari pendiri NU K.H Hasyim Asyari dan pendiri Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan yang dengan karyanya berjudul Syarah Al Hikam secara tidak langsung mengenalkan bahasa Jawa dalam tradisi keilmuwan Islam global pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Hal itu disampaikan oleh K.H Ahmad Baso, peneliti Islam Nusantara dalam serial “Inspirasi Ramadan 2022” yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan menjelang sahur, Selasa (19/4).
Baca: Zainul Bizawie: Bukan Islam, Tapi Muslimnya yang Sontoloyo
“Syarah Al Hikam karya K.H Soleh Darat ini ditulis dalam bahasa Jawa, tetapi ternyata orang Arab juga membacanya dan mempelajarinya. Kitab ini juga dicetak berkali-kali di Mesir, Bombay India, dan Singapura. Kitab ini tentang ilmu Tasawuf (ilmu yang berfokus pada membangun diri menjauhi hal duniawi), dan K.H Soleh Darat memang dikenal memiliki keilmuwan yang kuat dalam hal tasawuf, sehingga karyanya diminati ulama di Arab dan juga ulama Nusantara. Karena kalau gurunya nulis bahasa Jawa santrinya otomatis mau tidak mau kan harus belajar bahasa gurunya yakni bahasa Jawa, mau dia dari India, Mesir, atau Singapura,” tutur Ahmad Baso.
Ahmad Baso menjelaskan, apa yang dilakukan oleh K.H Soleh Darat dengan menerbitkan karya-karya Islam, maupun terjemahan dalam bahasa Jawa membantu penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Dengan demikian, ilmu agama Islam tidak hanya dapat dipelajari oleh golongan ulama dan santri, melainkan juga dapat dipelajari oleh semua kalangan, termasuk kalangan yang saat itu masih awam beragama di Nusantara.
“Bahkan ada satu kitab juga yang ditulis K.H Soleh Darat menggunakan aksara jawa. Ini tujuannya agar orang-orang yang saat itu hanya bisa membaca aksara jawa, juga bisa mempelajari salinan kitab beliau yang mengajarkan ilmu agama Islam. Jadi, beliau tidak memaksakan orang Jawa harus belajar agama dengan bahasa Arab. Ini kehebatan KH Soleh Darat, mengakarkan ajaran agama dengan instrumen bahasa lokal,” kata Ahmad Baso.
Lebih lanjut, peneliti Islam nusantara itu menceritakan terjalinnya komunikasi K.H Soleh Darat dengan tokoh perempuan Indonesia saat itu, RA. Kartini.
Saat itu, RA. Kartini diceritakan sedang gundah karena keinginannya mempelajari agama Islam terbentur dengan keterbatasan literatur yang menggunakan bahasa Jawa, kebanyakan saat itu literatur dalam bahasa Arab.
Melalui beberapa perantara, K.H Soleh Darat mendengar keluhan tersebut, hingga akhirnya RA. Kartini diberikan suatu karya tafsir Al-Quran Pegon yang berbahasa Jawa.
Baca: Puan: Masjid At Taufiq Miliki Desain Khas Budaya Nusantara
“Saat K.H Soleh Darat diminta hadir ceramah di Jepara oleh ayahnya RA Kartini yang saat itu bupati, K.H Soleh Darat menunjukkan cara menerjemahkan surat Al-Fatihah dalam Bahasa Jawa. Dari sana, semakin tertariklah RA Kartini mempelajari Islam. Saat pernikahan RA. Kartini, kebetulan kitab tafsir Pegon K.H. Soleh Darat sudah dicetak di Singapura, maka kitab tersebut menjadi kado pernikahan RA. Kartini dari K.H Soleh Darat, dan sangat puas RA. Kartini karena keinginannya belajar agama saat itu terpenuhi dengan kehadiran kitab tersebut,” ujar Ahmad Baso.
Selain itu, Ahmad Baso juga menceritakan saat pendiri NU K.H Hasyim Asyari dan pendiri Muhammadiyah menjadi santri K.H. Soleh Darat. K.H Hasyim Asyari saat menjadi santri lebih fokus mempelajari hadist dan ilmu tasawuf. Adapun K.H Ahmad Dahlan lebih fokus mempelajari ilmu falak.
“Jadi nama awal K.H Ahmad Dahlan itu Muhammad Darwis. Setelah berguru di pondok K.H Soleh Darat beberapa lama, di sana ada salah satu murid kesayangan K.H Soleh Darat, namanya K.H. Ahmad Dahlan Termas dari Termas Pacitan. K.H Ahmad Dahlan yang diambil menantu oleh K.H. Soleh darat, ini ahli falak, yaitu ahli ilmu perbintangan, hisab, rukyat, ini keahliannya. Nah Muhammad Darwis kagum, beliau ganti nama jadi K.H Ahmad Dahlan. Jadi itu semacam tabarukan, agar dengan nama baru bisa lebih berkah dan bermanfaat, murid ganti nama itu ada harapan yang diamanahkan dari seorang guru, sejak itu K.H Ahmad Dahlan menjadi ahli falak dan Muhammadiyah dikenal dengan kekuatannya dalam ilmu Falak,” tutur Ahmad Baso.