Jakarta, Gesuri.id - Pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen menyelesaikan konflik agraria di berbagai daerah. Berbagai skema penyelesaian, sesuai peraturan perundangan telah dijalankan oleh pemerintah.
Baru-baru ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan laporan konflik penguasaan tanah dalam kawasan hutan tercatat masuk ke Kementerian LHK sebanyak 320 kasus. Sebanyak 45 kasus di antaranya telah diselesaikan dengan mediasi, dan 39 kasus telah mencapai kesepakatan dalam bentuk kerja sama.
Dan sebanyak 131 kasus sedang dalam analisis dan penyelesaian.
Baca: Bung Karno Berhasil Kecoh Operasi Gagak Milik Belanda
Penyelesaian konflik agraria ini merupakan cara pemerintahan Presiden Jokowi menuntaskan dampak negatif dari kebijakan agraria pemerintahan Orde Baru yang tak berpihak pada kepentingan petani, masyarakat adat dan kaum Marhaen lainnya.
Padahal sejatinya, di era pemerintahan Bung Karno, telah dijalankan kebijakan agraria yang sangat berpihak pada kaum Marhaen. Ketika itu, lahir momen yang sangat bersejarah terkait kebijakan negara di sektor agraria, yakni diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA No. 5/1960 merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agraria kolonial, yakni UU Agraria 1870.
Dalam UUPA No. 5/1960 ada prioritas terhadap redistribusi tanah bagi petani miskin, penegasan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria.
Redistribusi tanah yang diamanatkan UUPA No.5/1960 dilaksanakan oleh pemerintahan Bung Karno melalui tiga tahap:
1) Pendaftaran tanah di seluruh teritori RI berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tahun 1961, yang merupakan aturan turunan UU No.5/1960,
2) Penentuan tanah yang dikategorikan “tanah lebih” serta pembagiannya kepada petani tak bertanah berdasarkan PP No 224 tahun 1961;
3) Pelaksanaan bagi hasil produksi pertanian yang berdasarkan UU No.2/1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH).
Bung Karno memang mendukung penuh pelaksanaan reforma agraria. Dalam pidato perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1963 yang berjudul ‘Jalannya Revolusi Kita’ (Jarek), Bung Karno menegaskan pentingnya pelaksanaan reforma agraria atau land reform demi tercapainya cita-cita revolusi nasional.
“Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” tegas Bung Karno.
“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” ujar Bung Karno, masih dalam pidatonya tersebut.
Walhasil, pada bulan Desember 1964 dan Januari 1965, pemerintah melaporkan keberhasilan proses redistribusi tanah-tanah 'lebih' di Jawa, Madura, Lombok, Bali dan Sumbawa. Tanah yang sudah diredistribusi adalah tanah negara dengan luas 454.966 hektar, yang dibagikan kepada 568.862 orang petani penggarap.
Baca: Sukarno Kolektor Lukisan Terbesar di Dunia
Sayangnya, pemerintahan Bung Karno tak sempat menuntaskan reforma agraria ini. Kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto pasca keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 menghentikan reforma agraria yang dilaksanakan Bung Karno.
Bung Karno pun terlucuti kekuasaannya secara perlahan. Kebijakan agraria ala rezim Soeharto tak lagi berpihak pada Marhaen, melainkan berpihak pada korporasi dan kapitalisme kroni.
Buahnya, konflik agraria pun marak hingga puluhan tahun lamanya.