Jakarta, Gesuri.id - Pernah menjadi partai yang terkucilkan di era Orde Baru hingga kini menjadi partai penguasa, PDI Perjuangan seolah tak pernah lelah untuk berproses menjadi partai politik yang memiliki karakter dan identitas yang kuat. Partai berlambang banteng moncong putih ini membuktikannya dengan mencetak kader–kader potensial bertangan dingin yang mampu membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik dan pro-rakyat. Sebut saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hingga Presiden RI ke-7 Joko Widodo.
Tentunya dalam mencetak kader-kader potensial seperti nama-nama di atas bukanlah langkah mudah dan cepat bagi PDI Perjuangan. Ada gemblengan–gemblengan yang harus dilalui para kader untuk menunjukan bahwa mereka adalah kader terbaik, kader yang memiliki api semangat yang sama dengan Bung Karno.
Oleh karenanya PDI Perjuangan menghadirkan Sekolah Partai, tempat para kader baik yang akan menduduki kursi legislatif, eksekutif maupun internal partai pendapatan latihan dan tempaan. Kali ini, Gesuri.id berkesempatan untuk berbincang dengan Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Pusat (Badiklatpus) PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, awal pekan ini. Secara gamblang, Eva yang juga merupakan anggota Komisi XI DPR RI memaparkan apa itu Sekolah Partai PDI Perjuangan, sebesar apa perannya dalam mencetak kader, serta bagaimana partai menyusun langkah strategis dalam pemenangan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Berikut wawancara selengkapnya:
Sejak kapan PDI Perjuangan mengadakan Sekolah Partai?
Seingat saya sejak kadersisasi dulu, belum dinamai sekolah ya, itu 2006, saya sudah sekretaris, dan memang kita satu–satunya partai yang membuat pelatihan kader, tapi tidak dengan manajemen seperti sekarang.
Kalau kita kan sekarang kalau mau membuat kurikulum terus pelaksanaannya di provinsi-kan dan di-daerahkan, jadi masif dampaknya. Kalau dulu dikontrol karena ingin quality. Kalau sekarang kita sudah percayakan orang kita.
Nah, disebut Sekolah Partai itu disebut sejak periode lalu ya, itu saya sudah di (bagian) kurikulum waktu itu. Penyebutan sekolah partai dengan harapan makin terlembaga, dan Sekolah Partai itu ada yang khusus kaderisasi, ada yang khusus pertanian dan ada yang untuk struktur partai dan seterusnya.
Jadi, kita sudah punya tanah di Jogja, Batu (Malang) dan Bali tapi gedungnya belum punya, tetapi kita sudah mencoba mengkonsepkan, memvirtualkan karena sistemnya sudah ada cuma butuh gedung. Dan kemarin ketika kita punya gedung ini (DPP Diponegoro) disuruh pakai yang ada di (DPP) Lenteng Agung dan kita berapa kali mengadakan pelatihan di situ termasuk workshop, rakor kita di situ, tapi lebih nyaman di sini (DPP Dipoegoro) karena pusat kekuasaan di sini ya, jadi di kamar ini (menunjuk ke ruangan belakang dekat tangga lobby) akhirnya kita jadikan posko.
Seringnya Sekolah Partai PDI Perjuangan diadakan di Wisma Kinasih, Depok, kenapa tidak di Kantor DPP saja? Atau hanya kelas–kelas tertentu saja yang diadakan di sana?
Kinasih itu semua, karena kita tidak punya gedung khusus, akhirnya kita nyewa. Jadi sekolah untuk semua. Sekolah untuk pimpinan daerah, sekolah untuk calon legislatif termasuk sekolah untuk struktur partai kita pakai di sana karena memang belum punya gedung.
Apakah semua kader diwajibkan untuk mengikuti Sekolah Partai?
Iya. Tapi diproritaskan yang pengurus.
Pengurus mana saja mbak?
Pengurus DPC dilatih di Provinsi, PAC dilatih di DPC dan guru kader dilatih di DPP sini.
Kalau kader dari sayap partai ada juga kewajiban untuk ikut?
Sayap partai bikin juga sendiri, tapi di masing–masing badan. Seperti TMP (Taruna Merah Putih) bikin pelatihan sendiri, tidak harus ke kita. Kita hanya dimintai konsultasi terutama yang berkaitan dengan ideologi.
Jadi saya selalu mengingatkan selain konten Pancasila 1 Juni harus ditambahi dengan metode berpikir Bung Karno. Itu yang selalu kita jagain itu di situ. Sama analisis sosial karena lebih penting untuk setelah kelas itu, kalau di Badiklatpus itu dibikin penugasan di luar kelas. Nah, kalau di TMP nggak ada kayak gitu. Itu hanya di Badiklatpus yang bikin penugasan lapangan jadi setelah selesai belum tentu lulus, kita lihat dulu hasil penugasan lapangan.
Jadi bisa dikatakan pelatihannya berbeda-beda untuk setiap kader? Seperti misalnya kepala daerah itu berbeda dengan yang calon legislatif?
Iya, kurikulumnya sendiri-sendiri. Kalau di pengurus partai itu kan ada tiga level pratama, madya sama utama. Tapi yang sifatnya ketrampilan seperti pertanian ada sendiri. Kalau perempuan di-handle Badiklatpus, itu kita sudah dua angkatan ini mau satu lagi.
Seberapa penting Sekolah Partai ini untuk mencetak kader-kader yang potensial untuk PDI Perjuangan?
Kan partai kita kan partai kader ya, berarti produk utamanya ya dikualitas kader–kader itu dan kita mengharapkan kader ini yang kalau istilahnya Bung Karno praksis ideologi juga. Jadi bukan hanya kognitif tapi juga mengerti bagaimana membangun aksi massa, melakukan gerakan sosial melalui koperasi atau gerakan budaya melalui adat.
Setelah membentuk Sekolah Kader, Sekolah Partai, apakah menjadi jaminan kader PDI Perjuangan adalah yang terbaik di mata masyarakat?
Kalau nggak kayak gini, ya kita nggak mungkin menang di Pilkada kemarin. Output-nya kan kelihatan. Terus sekarang kita menjadi partai favorit milenial, itu kalau nggak dilatihkan nggak diingatkan 'you must play socmed', ya nggak mungkin menang. Itu kan produk dari pendidikan. Pedidikan yang terlembaga maupuan tidak terlembaga.
Kita pelatihan–pelatihan yang ad hoc kan ada. Pelatihan untuk narasumber. Di Litbang tentang Islam dan parpol kemudian ada diskusi-diskusinya. Nah, itu menurutku performance partai saat ini ya karena kita berhasil melakukan kaderisasi baik di dalam sistem yang terlembaga maupun yang ad hoc.
Banyak masyarakat yang sudah mengetahui bahwa PDI Perjuangan memiliki sekolah partai, namun masyarakat juga melihat masih ada kader PDI Perjuangan yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, bagaimana PDI Perjuangan menanggapi hal ini?
Apalagi kalau nggak ada sekolah partai, kamu bisa bayangin? Kita kan partai yang paling besar, sehingga probaliltasnya untuk melakukan hal-hal itu juga paling besar, sehingga kita melakukan kontrol.
Ya menurutku, kalau nggak ada pelatihan ya kita nggak menang di Pilkada, kita nggak punya tokoh-tokoh seperti Risma (Tri Rismaharini), Hasto (Hasto Wadoyo), kayak gitu kan kita pakai mereka sebagai narasumber ditularin kemana-mana, pokoknya masuk ke kelembagaan lah. Bahwa pendidikan itu dilembagakan oleh kita. Bukan tidak ada sistemnya, kita bikin pelembagaan. Itu yang penting.
Untuk penegasaan saja mbak, berarti jika tidak ada Sekolah Partai maka kader yang ada bisa jauh lebih berpeluang terkena OTT maupun tindak kriminal lainnya?
Iya. Karena apa? Secara umum integritas masyarakat kita kan rendah. Sementara kita kan setting value kan untuk naikin yang namanya politik berkeadaban, partai dengan lisensi ISO, itu kan sebetulnya sistem untuk mengendalikan suapaya nggak larut ke dalam integritas yang rendah secara umum.
Jadi kalau ada beberapa, itu menurut ku wajar lah. Lha wong di tentara yang sudah sangat ketat saja kadang ada yang disersi kok. Nggak ada sistem yang sempurna. Wong korupsi paling tinggi aja ada di Departemen Agama, Quran itu contohnya.
Jadi memang secara general integritas kita memang masih rendah, termasuk perguruan tinggi negeri aja korupsi kok. Kok tiba-tiba partai yang seakan-akan. Kan partai pemakai lulusan dari sumber perguruan-perguruan tinggi gitu lho. Kita kan nggak lantas dari awal melahirkan dan membuatkan mereka asrama. Kita juga memakai input dari produk-produk mereka (perguruan tinggi) ini kan. Jadi ya nggak fair kalau tiba-tiba kemudian seolah-oleh partai itu di dunia hampa, terus nggak terkontaminasi. Yo nggak gitu tho.
Untuk Pemilu, contohnya Pilkada lalu, apakah PDI Perjuangan sedari awal lebih memilih menaruh kadernya untuk didukung dibandingkan kandidat lain yang tidak berasal dari PDI Perjuangan?
Itu kan SOP (Standart Operating Procedure). Karena kita pernah ndak punya SOP lalu meng-endorse orang lain, tetapi ternyata mereka pakai SARA, malah bikin Perda-perda yang tidak sesuai dengan semangat dan ideologi partai, jadi ketika kita bikin SOP ya kita ikuti, bahwa kita meng-endorse kader sendiri, bahwa yang di-endorse harus di sekolahkan (Sekolah Partai), harus punya Hasta, Prasta. Kayak gitu kan alat kontrol kan sebetulnya.
Jadi akan lebih mementingkan kader sendiri dibandingkan yang dari luar?
Iya. Kalau ndak punya baru mengusulkan orang lain. Tapi tentunya punya kriteria yang tadi dan kita masukin juga ke dalam sistem kelembagaan tadi. Misalnya Prof Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman itu kan dua-duanya masuk Sekolah Partai dulu.