Ikuti Kami

Tamara Ingin Berjuang Bebaskan Indonesia dari Narkoba

Tamara Geraldine terjun ke dunia politik utamanya untuk menangani persoalan narkoba di Tanah Air.

Tamara Ingin Berjuang Bebaskan Indonesia dari Narkoba
Caleg DPR RI PDI Perjuangan Dapil Jateng II (Kudus, Demak, Jepara), Tamara Geraldine.

Saat Calon Legislatif (Caleg) lain, apalagi yang perempuan, fokus pada isu-isu kesejahteraan, pada isu-isu perempuan dan anak, Caleg yang satu ini malah lebih memilih fokus pada persoalan narkoba. Lebih mengherankan, kiprahnya justru berangkat dari seorang pembawa acara televisi program olahraga, yang hobinya: menulis, melukis, memasak, main musik dan mengkoleksi cangkir minum. Jauh dari butiran pil, jarum suntik, grebek pabrik, kejar bandar hingga ciduk-menciduk.

Tetapi bukannya Ia abai terhadap isu kesejahteraan, perempuan dan anak. Ia memilih jalur yang tampak sedikit memutar. Itulah Tamara Geraldine, peraih Best Female Sport Presenter untuk Panasonic Award selama 5 tahun berturut-turut, yang akhirnya terjun ke dunia politik untuk menangani, utamanya persoalan narkoba di Tanah Air.

Ditemui dalam acara "Pembekalan Calon Anggota Legislatif DPR RI Pemilu Tahun 2019 Gelombang Dua" di Kinasih Resort, Depok, dengan keramahan dan antusiasmenya, berikut adalah petikan cerita Tamara Geraldine kepada Gesuri soal pencalegan dan keputusannya bergabung ke PDI Perjuangan.

Bisa ceritakan proses yang akhirnya membawa Anda ke dunia politik?

Sebenarnya ini bukan yang pertama, di tahun 2009, saya sudah nyaleg, dari partai lain. Ini yang kedua. Jadi sebenarnya politik itu bukan hal yang baru. Kembali ke sini memang dibukakan pintu untuk bergabung. Sebenarnya PDI Perjuangan juga bukan satu-satunya yang mengajak.

Kenapa memilih bergabung ke PDI Perjuangan?

Pasti ada proses, itu pasti. Waktu itu partai saya berbasis agama. Kakek saya seorang nasionalis, tapi dia religius, waktu itu dia bilang kurang-lebih, "Kenapa kamu ke situ? Agama tidak mempersatukan bangsa, hanya Pancasila." Saya setelah pencalegan yang pertama, terus ada jeda, itu saya banyak merenung. Waktu akhirnya sampai di sini, itu saya akhirnya sepakat dengan kakek saya. Kemarin waktu pembekalan saya baru mengerti negara Indonesia betapa kerennya kita itu. Negara yang tidak berbasis agama tetapi tidak juga sekuler. Diproklamasikan oleh seorang pemimpin yang sangat nasionalis, tapi religius, itu keren lho. Kalau anak Indonesia tahu, pemudanya, kita bisa standing proud.

Jadi kedewasaan itu akhirnya juga membuat itu berpikir sebelum menentukan ke rumah mana saya bergabung. PDI Perjuangan itu buat saya no question untuk bergabung ke sini, karena ketika tahu kita harus kita kemana, yang pertama yang harus dilihat itu kan segala sesuatu yang sesuai dengan karakter kita. Ada kebhinekaan di sini. 

Lebih-lebih sesuai juga dengan perjuangan saya selama beberapa tahun terakhir. Tiga tahun terakhir itu, selain di perusahaan, dan juga berkuliah, saya pekerja yayasan. Nah di yayasan itu saya banyak bergelut dengan penyuluhan-penyuluhan ke seluruh Indonesia soal gerakan anti narkoba. Di PDI Perjuangan kan juga kita tahu, salah satu kadernya, Presiden yang diusung itu sangat radikal terhadap penyalahgunaan narkotika. Jadi segala sesuatu yang sesuai dengan saya itu adanya di sini, saya tidak melirik partai yang lain, saya tahu saya harus berumah di sini.

Di Daerah Pemilihan (Dapil) mana Anda ditempatkan?

Kudus, Demak, Jepara, itu Jateng II. Saya nomor urut 5.

Apakah sudah melakukan pemetaan? Bagaimana potensi kemenangan Anda di Dapil tersebut?

Sudah. Sebenarnya turun ke sananya memang bukan baru sekarang. Dari awal itu saya sisir semua dengan treatment yang sama. Jadi saya datang ke kecamatan, sampai ranting, itu saya datangi satu-satu. Saya diajarkan untuk 'kulonuwun'. "Jika kamu masuk ke suatu tanah, kamu harus benar-benar datang ke tempat (rumah) orang di situ." Saya diajarkan orang tua saya begitu, itu etika.

Ketika akhirnya sebagai kader ditempatkan untuk nyalegnya di Jateng II, saya merasa itu sudah tuntunan. Itu seperti mengerti betul perjuangan saya selama ini. Kudus itu nomor tiga lho narkoba se-Indonesia, kalau Jepara itu darurat. Demak belum dan jangan sampai.

Orang mungkin melihatnya kenapa di taruh di situ, bukan di Medan, karena saya orang Medan. Tapi dengan saya ditempatkan di Kudus, Demak, Jepara, di Jateng II, saya merasa Partai kenal betul siapa saya, itu perjuangan saya kan. Tidak ada yang lebih membahagiakan ketika ada rumah terbuka, mengajakmu ke sana dan dia kenal betul siapa kamu. Jadi saya begitu masuk ke rumahnya, saya sudah tahu harus berbuat apa. Ini seperti saya masuk ke sebuah rumah di foto keluarganya saya sudah ada. 

Soal potensi kemenangan, semua yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, hasil tidak akan berkhianat kepada proses, saya selalu sungguh-sungguh, jadi proses yang sungguh-sungguh nanti hasilnya yang kita lihat. Saya sangat percaya diri dengan ini, karena saya melakukannya dengan sungguh-sungguh, saya happy, kalau saya happy kan tidak ada yang berat ya. 

Apakah merasa status sebagai artis memberi keuntungan bagi elektabilitas Anda?

Pertama, proses itu dikenal dulu kan? Step itu saya mungkin sudah, karena saya pernah di industri hiburan. Dan itu saya sudah mengundurkan diri. Kalau dari tahun 2004, saya sudah berbisnis. Sekarang tahun 2018, ternyata saya masih diingat. Jadi, kedua, habis dikenal, saya diingat. Tapi masih ada step berikutnya lho, dipercaya. Dipercaya ini saya mesti turun, dengan wajah sukacita. Setelah dipercaya baru dipilih. Saya katakan, seribu kali dikenal, diingat, masih ada dipercaya. Bahkan dipercaya saja belum tentu dipilih.

Lagipula, segala sesuatu itu memiliki dua sisi. Artis sendiri punya followers dan haters. Kalau saya sejauh ini, karena saya tidak pernah macam-macam, saya jaga betul (status) dari dulu, saya merasa diuntungkan. Tapi itu juga dari taburan saya, yang dulu saya jaga betul trackrecord saya.

Jangan pilih saya karena saya artis, masih banyak yang lebih nge-top, jangan pilih saya hanya karena saya perempuan, nanti disuruh stop.

Meski nanti DPP yang akan menentukan, tapi Anda sendiri ingin bertugas di Komisi berapa?

Kembali lagi, sebagai anak yang ada di rumah, saya tahu mereka kenal saya. Tempatkan di mana saja aku berdiri untuk negeri. Saya juga kan selalu diajak berbicara, diskusi, apa saja yang sudah dikerjakan, orang tua pasti lebih tahu.

Apa yang ingin Anda perjuangkan?

Saya ditempatkan di Dapil itu memang untuk memperkuat generasi. Kalau saya tidak bisa mengubah Indonesia bersih narkoba, saya perkuat generasinya. Sekarang di Jepara, yang belum tersentuh (darurat narkoba), diperkuat dong, dengan memberikan aktivitas dan fasilitas ke anak-anak mudanya, sehingga tidak bertambah. Jadi perjuangan saya di situ. Tapi saya juga mencerdaskan, dan membangun kesadaran berpolitiknya, supaya anak-anak muda tidak teriak-teriak "Ga dikasih ini, ga dikasih itu." Saya katakan, "Kamu tidak dikasih ini, karena efek domino dari generasi mu yang tidak saling menjaga." Bisa tidak kita saling memperkuat? Sehingga ketika angka itu berkurang, atau at least tidak bertambah, yang darurat jangan sampai dapat nomor, yang sudah nomor tiga jangan jadi nomor satu. Nah kalau itu bisa, saya mau perjuangkannya juga gampang. Hal-hal seperti itu, sebenarnya saya membangunkan generasi muda yang ada di Dapil.

Saya berfokus ke pencegahan. Saya sampai ke anak SD. Kemarin saya baru launching di Hari Sumpah Pemuda, didukung BNN, penyebaran 60 ribu buku dan CD gratis.

Mengapa Anda fokus pada persoalan narkoba?

Salah satu aset terbesar kita apa? SDM (Sumber Daya Manusia), terutama generasi muda. Kenapa saya ke sana, begini, 2020 itu kita ada bonus demografi usia produktif. Ini pemuda dan usia produktif, yang mau dipotong sama bandar kan ini. Di sini juga makanya kita kalau tidak punya pemimpin yang tepat, itu semua yang dari luar negeri, itu bisa ada dua dampaknya lho, bisa manfaatnya dahsyat, anugerah, tapi bisa jadi mudharat, kita bisa jadi sarang teroris. Kita tidak cukup punya pemimpin yang sekadar militan, yang dibutuhkan untuk mengatur ledakan jumlah pemuda dan usia produktif, dia harus militan, dia visioner, punya jiwa entrepreneurship, wirausaha. Siapa yang punya ketiganya? Ya, Jokowi. Wirausaha ini mengerti resiko, dia ambil resiko, tapi dia tahu, dia sediakan cara menghadapi resiko. Ini yang pulang dari luar negeri segala macam, mereka tidak ingin menjadi karyawan, mereka siap menjadi wirausaha, makanya kita tidak cukup yang militer-militer, dia harus bisa mengatur ini.

Nah pertanyaannya, waktu kita ingin menyosialisasikan itu kepada pemuda, pemudanya mesti sehat kan? Kalau misalnya dibilang tidak menyentuh langsung ke persoalan kesejahteraan, untuk ibu-ibu dan bapak-bapaknya, saya ngomong begini, pernah terpikir tidak satu rumah dengan 'junkies' (pecandu)? Tahu rasanya, rumah tangga 'hancur', misal beli rice cooker hari ini, besok hilang, besok beli lagi, rice cooker hilang (mengutil barang-barang rumah dan menjualnya untuk beli narkoba). Hal-hal seperti itu kecil kelihatannya, tapi itu sejahtera tidak?

Makanya saya bawa program bukan bawa janji, mungkin menurut kalian kecil ya, tapi itu real lho, mesti menunggu sampai dia tersentuh (narkoba) dulu habis itu semuanya menjadi tugas BNN? 

Kalau di Dapil, menjadi penyuluh narkoba, saya kasih kelasnya for free, saya bikin workshop, kemudian saya sedang dengan dealing BNN untuk kasih sertifikasi. Akan ada banyak penyuluh-penyuluh lokal. Tidak perlu menunggu Polsek, pemerintah pasti akan mengucurkan dana, karena mereka akan menjadi penyuluh lokal.

Saya juga bawa gerakan "run, scream, tell", lari, teriak, adukan, kalau ada yang tawar-tawarin, jadi saya mau ke semua SD, kita punya movement. 

Bagaimana persiapan kampanye Anda?

Billboard terus terang belum, karena kemarin waktu pembekalan dengan pak Jokowi, beliau juga bilang door to door, dan saya merasa diberkati ditempatkan di Dapil saya ini. Orang-orang bilang "enak ditempatkan di Jakarta." Tapi saya bilang, di Jakarta itu 'pagar rumah' lebih tinggi, bagaimana sosialisasinya, bagaimana bisa secara personal. Dan cara kampanye saya selama ini lecturing, preaching, langsung begitu ke orang. 

Untuk posko, iya. Rumah di mana mereka bisa datang. Bahkan saya bilang "Kalau ada teman-teman kalian yang tidak tahu hidupnya mau diapain, ayo bawa sini" (tertawa). Bukan masalah mau pilih siapa. Karena di rumah saya pun, bukan hanya di Dapil, saya buka. Jadi setiap saat ada yang datang, menulis skripsi, tesis, mengerjakan PR, melukis. Saya buka untuk siapa saja. 

Kalau untuk yang ibu-ibu, anak-anak ini akhirnya ngomong ke ibunya. Ibu-ibunya ini kan begini, kalau anaknya senang, dia juga bilang ke suaminya.

Di samping itu, saya sosialisasinya tidak hanya "Saya nomor urut 5." Saya gandeng DPC untuk bikin workshop penyuluhan terhadap kader-kader secara berkala, dengan apa saja, kelas motivasi, kelas ideologi, jadi atau tidaknya saya ke sana, saya berguna buat rumah ini, saya sudah menabur hal baik di Dapil itu.

Bagaimana tanggapan Anda tentang maraknya serangan hoaks?

Itu cara termudah, termurah dan paling tidak kreatif yang bisa dilakukan oleh orang yang juga tidak punya konsep apapun selain keinginan untuk menyerang. "Menyerang sajalah pokoknya." Orang itu menyerang harus berdasarkan pada sebuah landasan, "Apa yang kita serang? Mengapa?" Kalau sudah yang membabibuta, sampai teknik begitu, itu sebenarnya, "Yang penting kamu hancur saja." Tapi ketika ditanya mengapa harus hancur, jawabnya "Pokoknya kamu harus hancur," pokoknya. Kecuali, katakanlah, "Kamu harus hancur, karena aku lebih baik." Itu tidak apa-apa, kalau dia concepted. Konsep memenangkan segala sesuatu itu harus punya sesuatu yang lebih baik. Ketika ini tidak ada, maka yang tadi adalah strategi termudah dan termurah dari pihak yang sama sekali bukan konseptor. Ini tidak kreatif.

Kalau kita balik ke sejarah, ini pengulangan bukan sih? Bung Karno dibilang ateis, sekarang Jokowi dibilang anti-islam, komunis. Pengulangan kan? Ini tidak kreatif. Cara seperti itu, sebenernya kalau konseptornya visioner, tidak akan pernah dipakai.

Bagaimana tanggapan Anda soal politik identitas?

Saya bingung dengan orang-orang yang selalu bilang, "Jangan pilih pemimpin yang tidak seagama." Iya, tidak ada yang salah dengan kata-kata itu, tapi ketika dimensinya bukan berbangsa dan bernegara. 

Tidak ada pemerintahan yang datangnya bukan dari Tuhan. Dia yang ciptakan kita begitu plural. Jadi tempatkan pemimpin di situ yang dia mengerti. Nah di titik itu, bukan lagi unsur agama. Kalau Tuhan mau, memang Tuhan tidak bisa buat semua orang satu agama?

Bagaimana Anda akan kampanyekan Jokowi-Ma'ruf?

Saya sudah sering ceritakan, tahun 2019 itu seluruh pulau Jawa terkoneksi, itu saja, yang paling gampang untuk ada yang di Dapil. Pernah terpikir imbasnya itu? Itu hal signifikan yang bisa terjadi karena Jokowi. 

Yang dibutuhkan oleh bangsa ini, saat ini, tidak hanya presiden yang militan, tapi militian, visioner, dan punya jiwa entrepreneurship. Jadi saya betul-betul siap, 'at any cost' buat Jokowi.

Dan juga saya selalu kemanapun pergi, di Dapil khususnya, yang paling penting adalah kemenangan Jokowi. Karena buat saya, kalau sayanya masuk (Senayan) tapi bukan dia yang ada di sana (Istana), saya tidak mau. Akan tidak efesien dan efektif buat saya. Tapi kalau Jokowi menang, siapapun anggota legislatifnya, jalan lho program kita. Jadi sangat penting buat saya setiap kali sosialisasi, "Jokowi harus dua periode."

Apa tagline kampanye diri Anda?

"Tempatkan di mana saja aku berdiri untuk negeri."

Quote