Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto mengatakan skema kebijakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 0% yang diinisiasi Kemenperin justru tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, khususnya kelas menengah.
Untuk itu, lanjutnya, skema relaksasi pajak PpnBM 0% bagi beberapa jenis kendaraan mewah roda empat tersebut harus dievaluasi secara komprehensif.
Baca: Bobby Pastikan Pelebaran Jalan ke Pasar Induk Lau Cih Tuntas
“Penjualan mobil tidak naik signifikan,realnya hanya naik 10%-15%. Jadi pemberian PpnBM 0% kurang efektif. Kelas menengah tidak punya uang yang cukup dan kurang berminat mobil baru.Lebih banyak menghabiskan uangnya untuk kebutuhan sehari hari karena saving juga berkurang ,” ungkap Bendahara Megawati Institute itu, Kamis (11/3).
Padahal, lanjut dia, skema kebijakan tersebut awal mulanya di design untuk merangsang segmen kelas menengah.
“Mobil yang PpnBM 0 % rata-rata targetnya adalah aspiring middle class dan middle class yaitu kelompok dimana calon kelas menengah rata-rata pengeluaran per kapitanya 3,3-7,5 Dollar AS dan middle class yang sekarang lagi menurun drastis daya belinya ,” kata Politikus PDI Perjuangan itu.
Disamping itu, Darmadi juga mengungkapkan, banyak kendala dilapangan seperti banyak Surat Pengajuan Kredit (SPK) yang sudah diajukan tapi tidak dapat direalisasikan.
“Karena, pertama, saat SPK diajukan pengajuan kredit, calon pembeli tidak memenuhi syarat untuk diberikan KPM. Kedua, banyak mobil yang harus inden karena atpm tidak ada stock, contohnya Vios, barangnya tidak ada, akibatnya nanti saat ada mungkin pemberian PpnBM 0% sudah berakhir,” ungkapnya.
“Ketiga, PpnBM hanya berlaku untuk produksi start 1 Maret. Akibat kebijakan ini banyak perusahaan yang pegang stock terpaksa menelan kerugian besar karena harus melakukan penyesuaian harga dengan menjual rugi. Sementara PpnBM 0% hanya berlaku Maret sampai dengan Mei,” sambungnya.
Sekali lagi, menurutnya, PpnBM 0% hanya efektif untuk kelas menengah atas dan Upper class seperti untuk mobil kijang atau fortuner yang relatif masih kuat daya belinya.
“Kebijakan PPnBm 0% gak pas untuk kelas menengah karena banyak kelas menengah hancur daya belinya karena ada PHK dan lain-lain,” tandasnya.
Jadi, kata dia, SPK tidak bisa menjadi ukuran keberhasilan karena banyak SPK gagal menjadi kontrak karena banyak pengajuan kredit tidak bisa disetujui karena tidak memenuhi syarat.
Baca: Anak Buah Korupsi, Anies Harus Segera Evaluasi Semua BUMD
“Untuk DP 0% juga banyak leasing yang tidak mau melakukan,” ungkapnya lagi.
Mestinya, harap dia, selain kelas bawah, pemerintah juga harus memperhatikan kelas menengah. Karena sifat dari kebijakan pada dasarnya bisa dirasakan oleh semua golongan masyarakat bukan sebagian saja.
“Terutama aspiring middle class yang lagi tersungkur pendapatannya. Pemerintah harus memikirkan meningkatkan daya beli terutama aspiring middle class dan middle class juga.Tentu fokus utama tetap ke kelas bawah,” pungkasnya. Dilansir dari kedaipenacom.