Medan, Gesuri.id - Anggota DPR RI dr. Sofyan Tan, yang juga tokoh masyarakat Tionghoa mengatakan perjuanganya membantu anak anak miskin yang tidak mampu bersekolah merupakan tindakan balas dendam yang positif.
Baca: Gembong Minta Anies Batalkan LEZ Kota Tua, Macet & Polusi!
Pasalnya, sewaktu kecil ia mengaku terlahir dari keluarga yang miskin, tinggal di daerah pinggiran sungai Kota Medan. Meskipun keluarganya etnis tionghoa tinggal di lingkungan suku Melayu dan Karo, ia mengatakan hubungannya dengan lingkungan waktu itu sangat dipenuhi dengan persaudaran.
“Di sana kan Melayu dan Karo, jadi sejak kecil memang berbaur aja, kadang kita mandi-mandi di sungai, sungai sunggal yang jernih banget, dan sekarang jadi PDAM Tirtanadi. jadi masa kecilnya itu dulu saat perayaan imlek itu sangat luar biasa, masyarakat non tionghoa itu ikut, ikut merayakan, karena kita kan berteman,” kata pria kelahiran tahun 1959 ini saat diwawancarai, Minggu (14/2).
“Begitu juga sebaliknya pada saat imlek mereka minta kue bakul, yang kita sebut kue keranjang itu. kemudian bagi yang Melayu kami sering dikirim manisan, kalau idul fitri setahun sekali, kami bisa makan kolang kaling, pepaya yang dijadikan pemanis ataupun makanan buah-buahan yang lain,” sambungnya.
Menurut Sofyan, keberagaman antar etnis tionghoa dengan non tionghoa saat itu sangat baik, namun sejak Presiden Soeharto memimpin, banyak kegiatan-kegiatan yang tidak diperbolehkan, seperti barongsai dan perayaan imlek tidak dilaksanakan lagi.
“Kami tidak boleh belajar bahasa mandarin dan sebagainya. nah otomatis sebenarnya, generasi saya ini adalah yang tidak mengenal bahasa mandarin secara baik. Karena sejak tahun 67 sampai 71 itu semua bahasa mandarin sedang tidak dibolehkan, waktu itu kan kita masih SD, jadi ini adalah generasi kami yang lahir tahun 59 -60 an itu tidak mengenal bahasa mandarin secara baik,” sebutnya.
Lanjut Sofyan Tan, menceritakan ketertarikannya terjun dalam bidang pelayanan dan pengembangan masyarakat, hingga pada akhirnya bergabung dalam partai politik PDI Perjuangan, dan kini menjadi anggota DPR RI dan berkantor di gedung Senayan.
Ia mengakui, pekerjaan yang dia lakukan tanpa disadari memiliki dampak terhadap dunia politik, sebab dirinya bukanlah seorang pelaku politik praktis. Sejak muda Sofyan lebih fokus pada kerja kerja kerakyatan, seperti mengajar.
“Karena saya lahir dari keluarga miskin, kemudian sekolah sangat sulit, papa saya juga meninggal, sambil kuliah saya mengajar, pokoknya saya tidak mengenal adanya beasiswa, artinya saya itu bisa kuliah karena harus mengajar dan sebagainya,” katanya.
Sofyan menyebutkan, dalam perjalan kehidupannya sering kali ia mendapatkan perlakuan diskriminasi dari lingkungannya, terlebih saat ia menempuh pendidikan dokter, ia pun tidak bisa lulus dengan cepat karena dianggap dari etnis tionghoa.
“Kamu cina ya, begitulah, sehingga saya harus ujiannya lebih lama dari teman yang lain. Saya mengalami itu. karena itu, begitu saya selesaikan dokter, niat saya itu kepada bagaimana membangun sekolah agar bisa sekolah itu bagi anak anak miskin bisa sekolah, dan kemudian saya bisa memberikan beasiswa pada mereka,” sebutnya.
“Ini sebenarnya sejenis balas dendam yang positif. selama 33 tahun sekolah itu saya dirikan saya bisa bantu sekitar 4400 anak. Nah itu kan tanpa kita sadari bahwa ternyata pekerjaan sosial itu berdampak politik,” sambungnya.
Selain itu, Sofyan mengungkapkan, kegiatan sosial yang dilakukan bukan semata untuk menjadi anggota DPR ataupun seorang pejabat tinggi, karena menurutnya menolong orang miskin agar bisa bersekolah adalah tujuannya.
“Karena latar belakang saya memang miskin juga, tapi oleh partai melihat saya kan beda, partai melihat saya punya modal sosial yang tinggi, kredibilitas tinggi, elektabilitas tinggi makanya saya ditawari masuk kedalam partai,” ungkapnya.
“Jadi karena itu saya berfikir karena kan selama ini saya berjuang untuk orang miskin artinya yang bisa dibantu masih terbatas, kemudian punya cita cita kalau bisa semua orang miskin yang berada di kota medan bisa gratis sekolahnya maupun kuliahnya,” terangnya.
Setelah bergabung dengan partai berlambang banteng, Sofyan pun dipercayai dan diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi wali kota medan, meskipun belum berhasil ia mengaku merasa nyaman berada di PDI Perjuangan dan memilih partai ini sebagai tempat perjuangan.
“Karena PDI Perjuangan adalah partai yang memperjuangkan wong cilik dan tidak persoalkan kita itu suku apa dan agama apa. Saya tahu bahwa ini adalah partai tempat kaum nasionalis, artinya rumah kaum nasionalis ini ya bisa sebagai tempat saya berjuang dalam memperjuangkan orang kecil,” tuturnya.
Setelah menjadi anggota DPR RI, Sofyan mengaku sudah bekerja keras memperjuangkan dunia pendidikan, khususnya bagi anak anak yang tidak mampu dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Dalam kurun waktu enam tahun jumlah anak-anak yang bisa diperjuangkan mencapai 180 ribu orang melalui program Indonesia Pintar.
Baca: Prasetyo: Revisi Perda Tata Ruang & Zonasi Untuk 50 Tahun
“Sebanyak 2500 orang mahasiswa 180 ribu mulai dari SD hingga SLTA, kalau dilihat dari saya dirikan sekolah, mengurusi anak miskin yang belum tentu dapat sekolah dan kuliah di yayasan sekolah saya ini,” ujarnya
“Dan 33 tahun yang bisa dibantu hanya 4400 orang, sedangkan dalam 6 tahun saya jadi anggota DPR RI saya sudah bantu 180 ribu orang. Jadi yang masih bisa saya perjuangkan bukan hanya Medan tapi juga Deliserdang bahkan sampai ke Tebingtinggi dan sebagainya,” pungkasnya.