Jakarta, Gesuri.id - Anggota Badan Legsilasi (Baleg) DPR Eva Kusuma Sundari menegaskan pijakan dasar merevisi UU Perkawinan adalah amanat putusan MK No.22/PUU-XV/2017.
Untuk itu, lanjutnya, pembuat UU harus segera menyusun kembali pengaturan baru tentang batasan usia perkawinan.
Eva, yang juga pengusul RUU Perkawinan, menilai Indonesia menjadi negara dengan jumlah perkawinan usia anak tertinggi di kawasan ASEAN.
Baca: Uji Materi UU Perkawinan, DPR Siap Tindaklanjuti Putusan MK
Ironisnya, kata dia, maraknya perkawinan usia anak berlangsung lama tanpa ada perubahan batas usia pernikahan sesuai amanat putusan MK itu.
Menurutnya, bila ada revisi aturan batas usia perkawinan ini berdampak signifikan terhadap kurikulum, aturan Kantor Urusan Agama termasuk cara pandang masyarakat.
“Ketika ada perintah MK untuk menaikan batas usia perkawinan kita harus proaktif untuk melindungi hak anak,” ujar politisi PDI Perjuangan itu, dilansir dari hukumonline.com, Rabu (21/8).
Rencana revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya terkait aturan batas usia pernikahan memang ditanggapi serius Baleg DPR.
Pasalnya, Panitia Kerja (Panja) RUU Perkawinan segera dibentuk untuk membahas dan mengesahkan secara terbatas pada aturan batas usia perkawinan sesuai amanat putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 tertanggal 13 Desember 2018.
“Pembentukan Panja untuk mengubah UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan hal yang urgen,” ujar Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto saat memimpin rapat dengan pengusul RUU Perkawinan di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (20/8).
Totok menerangkan revisi ini menindaklanjuti putusan MK No.22/PUU-XV/2017 terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengamanatkan pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sebab, batas usia 16 tahun bagi perempuan dikategorikan sebagai usia anak. “Karena itu, batas usia pernikahan dalam UU Perkawinan perlu dirombak,” tegasnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu melanjutkan Baleg memberi perhatian penuh terhadap revisi UU Perkawinan ini. Nantinya, Panja diupayakan bergerak cepat mengkaji dan membahas perubahan UU Perkawinan hasil uji materi itu secara internal. Menurutnya, pengaturan batasan usia pernikahan harus memperhatikan kondisi sosial dan budaya yang ada di Indonesia.
“Nantinya RUU Perkawinan bakal membuat dispensasi (keringanan) usia pernikahan untuk mengatasi bila terdapat persoalan spesifik. Dan ini dibutuhkan instrumen lain dalam penjelasan UU. Misalnya, masalah sosialisasi, pendidikan perkawinan yang perlu dipertegas,” kata dia.
Terpisah, Staf Kelompok Kerja (Pokja) Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Lia Anggiasih mengatakan pembentukan Panja oleh Baleg adalah langkah cepat menyegerakan pembahasan RUU. Dia meminta Baleg segera melayangkan surat ke masing-masing fraksi agar menugakan perwakilannya di Panja RUU Perkawinan ini. “Ini langkah yang sangat baik,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Hukumonline.
Lia berharap agar Panja paling lama pekan depan sudah dapat bekerja mengkaji, membahas draf RUU Perkawinan ini. Menurutnya, bila tidak cepat direspon badan legislastif, maraknya usia pernikahan anak bakal terus terjadi. “Dalam waktu 2 tahun ini jika tidak diubah secepatnya berapa banyak anak lagi yang akan dikawinkan?”
Tak hanya itu, masalah ini berdampak banyak anak yang putus sekolah hingga mengalami diskriminasi termasuk tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara. “Pasca putusan MK ini, KPI bergerak cepat menemui anggota dewan antara lain Eva Kusuma Sundari, untuk mendorong penyusunan RUU ini demi perlindungan terhadap perempuan dan anak.”
Dia juga berharap sebelum berakhirnya DPR periode 2014-2019, RUU Perkawinan dapat segera disahkan secara terbatas menjadi UU. Sebab, pasal yang menjadi fokus perubahan hanya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Hanya saja, memang belum ada kata sepakat soal berapa batasan usia bagi laki-laki dan perempuan untuk dapat melangsungkan pernikahan dalam RUU tersebut.
Baca: Chicha Koeswoyo Bertekad Perangi Pernikahan Dini
“Tapi, KPI tetap pada batasan usia 19 tahun bagi anak perempuan dan laki-laki. Seharusnya tidak ada diskriminasi gender dalam hal apapun termasuk dalam hal usia perkawinan ini,” katanya.
Seperti diketahui, Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mengenai batas usia perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Dalam putusannya, frasa “usia 16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Namun, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih tetap dinyatakan berlaku hingga Pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi usia 19 tahun dalam jangka waktu maksimal 3 tahun sejak putusan diucapkan.