Tasikmalaya, Gesuri.id - Mantan Kadiv Humas Polri Irjen. Pol (Purn.) Anton Charliyan menanggapi dibaiatnya sejumlah warga Garut, Jawa Barat, masuk aliran Negara Islam Indonesia (NII), baru-baru ini.
Berdasarkan pengakuan sejumlah anak yang mengaku dibaiat NII itu, salah satu doktrin yang diberikan adalah menganggap pemerintah RI thogut, atau 'setan' yang disembah manusia.
Anton menyatakan, sejak dua tahun yang lalu, pihaknya bersama tim Yenny Wahid Foundation sudah menginformasikan ke para pihak terkait baik Polri maupun TNI, agar hal tersebut segera diantisipasi oleh pemerintah dengan serius.
Anton menilai, gerakan NII ini begitu masif dan terstruktur.
Baca: Di Sumedang, Anton Serukan Pemajuan Budaya Nusantara
"Sementara kami pantau dari pihak Pemerintah terkait sepertinya terkesan adem ayem, slow respon , hanya diantisipasi dengan pola-pola rutinitas biasa-biasa saja," ujar Anton.
Anton menilai, seharusnya pihak pemerintah dan aparat terkait bisa lebih progresif dan punya pola teknis serta taktis yang lebih khusus dalam mengantisipasi masalah NII ini. Baik dari sisi preemptive, preventif maupun dari sisi represifnya.
"Sinergikan semuanya untuk bergerak sesuai dengan job description masing-masing. Kalau kita lengah ini akan jadi bom waktu yang sangat berbahaya, hari ini mungkin cuma 59 orang yang berarti hampir satu Kepunduhan, besok bisa satu Desa, dua desa, lama-lama bisa satu kecamatan dipengaruhi dan didominasi oleh kelompok mereka yang berafiliasi kepada NII," ujar Anton.
Apalagi, sambung mantan Kapolda Jabar itu, daerah Priangan punya sejarah khusus, yakni menjadi tempat Kelahiran NII Kartosuwiryo yang sampai saat ini masih kuat sekali pengaruhnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari mereka pun mendeklarasikan diri karena ingin membentuk otonomi sendiri.
"Bahkan tak menutup kemungkinan ingin memerdekakan diri dari NKRI dan membentuk NII, dalam skala yang didukung massa besar dan terkonsentrasi dalam satu teritori. Nanti kita semua baru terbelalak dan saling tuding satu sama lain," ujar Anton.
Sementara, lanjut Anton, pengalaman di Poso yang hanya ratusan orang saja dalam satu wilayah kecil yang sporadis begitu merepotkan kita semua, hingga butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Demikian juga dengan Separatis Papua.
"Apalagi jika satu wilayah teritori baik Desa apalagi satu Kecamatan, dampaknya bisa lebih dari Moro yang sudah dialami Pemerintah Filipina. Bisa puluhan tahun dampaknya bagi keutuhan NKRI," ujar Anton.
Bahkan, sambung Anton, bila pihak Asing ikut campur tak menutup kemungkinan juga NII bisa melepaskan diri dari NKRI sebagaimana yang terjadi dengan Timor Leste.
Untuk itu Anton meminta agar Pemerintah segera mekakukan langkah-langkah nyata. Sebab masalah ini menyangkut masalah Pembelotan Iedologi.
"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Perang Ideologi jauh lebih berbahaya dari hanya sekedar Perang Fisik. Maka upaya pemerintah untuk saat ini sebaiknya di khususkan guna membentuk tim khusus yang mampu meluruskan kembali ideologi-ideologi mereka yang sudah terlanjur terpapar, baik secara terbuka maupun secara tertutup," ujar Anton.
Berdasarkan pengamatan Anton, Garut hanya sekelumit kecil saja dari masalah NII ini. Justru, sambung Anton, yang harus lebih diwaspadai adalah gerakan masif yang sekarang ini sedang berlangsung di Indonesia.
"Hasil dari litbang BIN saja menunjukkan hampir lebih dari 39% mahasiswa yang terpapar radikalisme, yang merupakan salah satu ciri khas iedologi NII ini. Radikalisme, sebagaimana kita ketahui bersama saat ini dimotori oleh HTI, Ikhwanul Muslumin, Jamaah Islamiah , JAD dan JAT," papar Anton.
Baca: Anton Harap Tasikmalaya Jadi Sentra Busana Muslim Indonesia
Anton mengungkapkan, pada tahun 2015 saja ketika Rapat Akbar di Gelora Bung Karno hadir kader-kader NII sekitar 400 ribu orang.
Dan saat ini, ujar Anton, menurut pengamatan dan hasil diskusi pihaknya dengan Tim Anti Radikal dan Terorisme, di Indonesia ada tak kurang dari 10 juta orang yang terpapar Iedologi NII.
"Suatu ancaman yang luar biasa. Sehingga bila kita lengah hanya tinggal menunggu 'Gong' nya saja. Untuk itu kami para Pegiat yang tergabung dalam tim anti Radikalisme dan Terorisme menghimbau sekaligus mengingatkan agar Pemerintah lebih serius dan lebih pro aktif dalam menangani masalah NII ini," ujar Anton.
"Pemerintah harus punya strategi khusus sampai dengan tingkat teknis dan taktis yang jitu, sebelum semuanya jadi terlambat. Jangan sampai nanti anak cucu kita hanya mendengar ceritra bahwa dulu pernah ada sebuah Negara yang bernama NKRI, yang Bhineka Tunggal Ika dan berideologi Pancasila, " tambah Anton.