Ikuti Kami

Arif Riyanto Uopdana Ingatkan Program B40 dan B50 Harus Dikaji dari Aspek Fiskal, Pasar dan Lingkungan

“Kami mendukung kebijakan ini, tetapi perlu ada kajian lebih lanjut."

Arif Riyanto Uopdana Ingatkan Program B40 dan B50 Harus Dikaji dari Aspek Fiskal, Pasar dan Lingkungan
Anggota Komisi XII DPR RI Arif Riyanto Uopdana dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen EBTKE dan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. Foto : Jaka/Andri

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi XII DPR RI Arif Riyanto Uopdana mengingatkan program B40 yang akan dijalankan dan rencana peningkatan ke B50 pada 2026, harus dikaji dari tiga aspek utama, yakni fiskal, pasar, dan lingkungan.

Hal itu disampaikan Arif dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen EBTKE dan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.

“Kami mendukung kebijakan ini, tetapi perlu ada kajian lebih lanjut. Pertama, dari aspek fiskal Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sendiri, apakah mampu menanggung beban insentif ini. Kedua, dari aspek pasar, karena biodiesel hanya dikonsumsi di dalam negeri, sementara di sisi lain kita juga mendorong energi lain seperti kendaraan listrik dan dieselisasi di sektor pertambangan. Ketiga, dari aspek lingkungan, karena masih banyak isu terkait kelapa sawit yang harus dimitigasi melalui perbaikan tata kelola dan regulasi,” kata Arif, dikutip pada Rabu (9/4/2025).

Legislator Dapil Papua ini menegaskan bahwa kebijakan biodiesel harus sejalan dengan keberlanjutan sektor energi dan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk terus mengevaluasi dan mengoptimalkan implementasi program ini agar tetap memberikan manfaat bagi perekonomian dan masyarakat luas.

Selain itu Arif menyoroti pentingnya insentif dalam program biodiesel agar harganya dapat bersaing dengan bahan bakar solar. Menurutnya, Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel lebih tinggi dibandingkan HIP solar, sehingga diperlukan dukungan insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menutupi selisih harga tersebut.

“HIP biodiesel lebih tinggi dari HIP solar, sehingga harus ada insentif dari BPDPKS. Anggaran BPDPKS sendiri berasal dari pungutan ekspor komoditas minyak sawit, dan mungkin sekarang sudah diperluas dengan tambahan dari kelapa dan kakao,” ujarnya.

Arif menjelaskan bahwa sejak program biodiesel mulai diterapkan pada 2015 dengan B15, insentif yang diberikan pemerintah terus meningkat. Saat ini, dengan implementasi B35, besaran insentif yang harus ditanggung BPDPS juga semakin besar. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri mengingat pendapatan BPDP sangat bergantung pada penerimaan dari ekspor minyak sawit yang harganya fluktuatif.

“Di saat harga ekspor minyak sawit tinggi, BPDP memiliki kemampuan untuk memberikan insentif. Namun, jika harga turun, ini akan menjadi kendala. Sebagai contoh, pada 2020 ketika pandemi COVID-19, pemerintah harus memberikan insentif tambahan sebesar Rp2,7 triliun,” jelas Politisi PDI Perjuangan ini.

Lebih lanjut, Arif menekankan bahwa BPDPS memiliki mandat lain seperti pendanaan untuk program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kapasitas SDM petani sawit, serta penyediaan sarana dan prasarana perkebunan sawit. Oleh karena itu, ia menilai penting untuk memastikan BPDPS tidak kewalahan secara fiskal akibat beban insentif biodiesel.

Sumber: www.niaga.asia

Quote