Kamboja, Gesuri.id – Ketua Bidang Luar Negeri Taruna Merah Putih Provinsi Banten,Arnita ikut berpartisipasi dalam pertemuan bergengsi “7th Meeting of the ICAPP Media Forum” yang diselenggarakan oleh International Conference of Asian Political Parties (ICAPP). Dalam forum ini, Arnita turut berkontribusi dalam merumuskan “Phnom Penh Statement”, sebuah dokumen penting sebagai hasil diskusi strategis yang melibatkan berbagai partai politik Asia.
Dalam pidatonya dihadapan delegasi lainnya, Arnita menyoroti dinamika era demokrasi digital yang penuh tantangan.
“Kita tengah menghadapi era ‘post-truth’ dengan kemajuan teknologi yang masif, tetapi juga membawa dampak negatif seperti berita palsu, misinformasi, dan disinformasi yang dapat mengganggu integrasi sosial, pembangunan bangsa, dan perdamaian dunia,” ujarnya, dalam keterangan resmi yang diterima gesuri.id, Selasa (26/11).
Ia juga mengutip Global Risks Report 2024, yang menempatkan misinformasi dan disinformasi sebagai tiga risiko terbesar dunia, bersama dengan dampak buruk teknologi kecerdasan buatan (AI) dan konsentrasi kekuatan teknologi.
Di Indonesia, ancaman hoaks semakin nyata. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat 1.615 konten hoaks di platform digital selama 2023, sementara 289 berita hoaks politik tersebar selama masa Pemilu 2024.
Arnita menegaskan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah menginstruksikan kader partai untuk melawan berita palsu dengan data dan fakta. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyebut berita bohong sebagai kejahatan peradaban yang mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Tak hanya itu Ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Ketua DPR RI, Puan Maharani, turut mengapresiasi media massa atas peran jurnalistik dalam melawan hoaks.
Lebih lanjut, Arnita mengusulkan tiga langkah utama untuk melawan dampak negatif demokrasi digital:
Pertama, Edukasi Literasi Digital: Literasi digital menjadi kunci daya kritis warga negara. Dengan kemampuan mengenali berita palsu, memahami algoritma media sosial, dan melindungi privasi online, masyarakat dapat membuat keputusan berbasis informasi akurat.
Kedua, Regulasi dan Transparansi Digital: Pemerintah dan perusahaan teknologi perlu mengadopsi regulasi yang menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan dari ancaman daring. Transparansi dalam kebijakan moderasi konten dan perlindungan data pribadi juga harus diutamakan.
Ketiga, Penguatan Geopolitik Digital dan Kelembagaan Demokrasi: Kolaborasi lintas sektor dan antarnegara menjadi penting untuk membangun kelembagaan demokrasi digital yang adaptif. Arnita menekankan bahwa Pancasila dapat menjadi jembatan nilai universal dalam menciptakan demokrasi digital yang damai, setara, dan berkeadilan.
“Teknologi seharusnya memperdalam partisipasi demokratis, bukan menguranginya,” pungkas Arnita.
Ia pun mengajak semua pihak untuk bersama-sama memerangi hoaks, memperkuat kelembagaan demokrasi digital, dan menjaga kedamaian dunia melalui etika digital yang baik.
Sebagai delegasi dari PDI Perjuangan, Arnita dalam forum tersebut menegaskan komitmen Indonesia untuk memimpin dialog demokrasi digital di kawasan Asia, sekaligus memperjuangkan integrasi sosial dan perdamaian global di tengah tantangan era digital.