Bogor, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan Kota Bogor Atty Somaddikarya menanggapi keinginan Persaudaraan Alumni (PA) 212 untuk membubarkan PDI Perjuangan, sebagai buntut pernyataan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang ingin sejarah 1965 diluruskan.
Atty menegaskan, meluruskan satu sejarah pada arah yang sebenarnya adalah warisan berharga bagi seluruh anak bangsa. Jika satu sejarah diputarbalikan, maka itu tak bisa dinamakan sejarah.
Baca: Putra Puji Transformasi Virtual Cerita Sejarah Museum
"Sejarah itu wajib yang sebenar-benarnya, tidak boleh ada rekayasa. Pelaku sejarah harus bicara dan jangan bungkam," tegas Atty.
Anggota DPRD kota Bogor itu menyatakan, banyak oknum pelaku sejarah berkonspirasi mengarang cerita bebas seperti dongeng, atau Drakor (drama Korea) yang kadang tidak masuk logika. Apalagi di zaman serba terbuka dengan tingkat kecerdasan yang tinggi seperti saat ini.
"Jangan pernah berpikir rakyat Indonesia masih bodoh dan mudah dihasut dengan cerita dongeng. Rakyat sekarang lebih banyak yang cerdas, kalaupun masih ada yang merasa bodoh hal itu dikarenakan minimnya informasi yang benar," ujar Atty.
Atty melanjutkan, masyarakat yang bodoh seperti itu lah yang akan mudah diadu domba dan mudah tertarik dengan penawaran "kunci surga" oleh oknum-oknum berjubah ulama dengan mencatut nama agama. Mereka pun mudah menyebar kebencian pada pemerintah yang sah.
Atty menegaskan, dirinya sebagai rakyat Indonesia sangat mendukung penuh mengembalikan sejarah pada alur dan fakta yang sebenarnya. Sejarah, lanjutnya, wajib untuk diluruskan.
"Kita sebagai anak bangsa harusnya memberi support supaya sejarah tak lagi dikaburkan oleh satu kepentingan politik yang saling serang dan menjadi musuh karena saling curiga," ujar Atty.
Anehnya, lanjut Atty, adanya tujuan dan upaya yang benar tentang sejarah justru menuai respon dari PA 212 yang kemudian menyerang PDI Perjuangan sebagai partai yang legal secara konstitusi untuk dibubarkan.
Cara pandang PA 212 itu, lanjut Atty, adalah cara pandang yang salah tanpa dasar yang kuat. Sebab seharusnya PDI Perjuangan diapresiasi karena berani meminta sejarah untuk di luruskan pada tempat sebenarnya.
Atty mengingatkan, yang seharusnya tercatat dalam sejarah, adalah ketika Pemilu 1999 memutar-balikan aturan main berpolitik yang sehat berdasarkan UU Pemilu. Kala itu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati sukses mendapatkan dukungan dan suara rakyat, dan menjadikan PDI Perjuangan pemenang yang seharusnya mengantarkan Megawati ke kursi Presiden.
"Namun, kezaliman Ketua MPR RI pada masa itu yang membuat Poros Tengah, merampas hak Ketua Umum PDI Perjuangan menuju kursi Nomor 1, Presiden RI," ungkap Atty.
Atty melanjutkan, sejarah terulang lagi di Pemilu tahun 2014. PDI Perjuangan terzalimi lagi karena muncul UU MD3 yang merampas hak pemenang Pemilu 2014 untuk mendapat kursi Ketua DPR RI. Dengan UU MD3 itu, lanjut Atty, jangankan mendapat posisi ketua DPR RI seperti halnya Partai Demokrat yang dua kali berkuasa, menjadi unsur pimpinan DPR RI juga tidak bisa diraih.
Baca: Putra: Peluang Emas, Jutaan Murid Nikmati Museum Virtual
"Perilaku politik dengan melanggar aturan yang disepakati yang dituangkan dalam aturan konstitusi adalah kejahatan politik. Jangan merasa bahagia mendapatkan jabatan tertinggi bagi partai politik sebagai pimpinan DPR-RI 2014 - 2019 dengan cara-cara curang yang dibungkus rapih dengan lahirnya UU MD3. Ini bagian dari sejarah yang tak akan dilupakan dalam buku sejarah politik saya sebagai rakyat dan kader banteng kota Bogor!" ujar Atty.
Seperti diketahui, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati mengatakan gambaran sejarah Indonesia seperti terpotong sejak 1965. Padahal, menurutnya, sejarah 1965 itu merupakan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
"Saya bicara kepada Pak Nadiem karena beliau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ya harus bagaimana ya, apakah hal ini tidak boleh diajarkan? Apakah sejarah bangsa kita harus terputus? Dari abad sekian arkeolog bilang begini, ada ratu ini, ada raja ini, tapi tahun '65 begitu, menurut saya seperti sejarah itu dipotong, disambung, dan ini dihapus," kata Megawati dalam diskusi virtual di akun YouTube Museum Kepresidenan Balai Kirti, Selasa (24/11).
Megawati kemudian mengenang kebesaran Sukarno sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia, juga menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika. Namun Megawati mengatakan kisah Sukarno itu dihapus pada era Orde Baru. Ia menyebut elite politik patah lidah, semua orang takut menyebut Sukarno sebagai proklamator.