Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH. MH. mengatakan, pada prinsipnya seluruh Fraksi di DPR sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama bangsa ini. Namun, ia mengingatkan KPU yang ingin membuat aturan larangan caleg bagi mantan koruptor, justru bertentangan dengan Undang-Undang.
"Jangan dengan arogansinya, KPU memaksakan kehendak membuat aturan dalam Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan koruptor untuk nyaleg," ujar Henry dalam sebuah program talkshow di TV swasta bertajuk "Mantan Koruptor Jadi Caleg, Pantaskah?", Senin (28/5) malam.
Henry menjelaskan, jika kita bicara prinsip hukum, pertama mengenai mantan narapidana tidak ada spesifik disebutkan. Itu sudah diatur dalam tiga Undang-Undang. Kemudian ketiga-tiganya norma itu dibatalkan oleh MK dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009 dan Putusan MK terakhir Nomor 46/PUU-XIII/2015.
Untuk itu, Henry meminta KPU untuk merujuk pada putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang isinya memperbolehkan mantan narapidana mengikuti pilkada maupun Pileg, dan seharusnya rencana KPU tersebut jangan sampai menabrak ketetapan.
Selain itu, rencana peraturan KPU ini bertentangan dengan ketentuan pencalonan dalam Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang pemilu.
"UU Pemilu pasal 240 menyebutkan seorang mantan narapidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) selama dia mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana," ungkap Henry.
Ia menambahkan, sesuai dengan asas hukum, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan lebih tinggi.
"KPU sebagai penyelenggara Pemilu, tentu tidak boleh membuat PKPU yang bertentangan dengan norma yang ada di dalam UU tentang Pemilu. Itu satu," lanjut Henry.
Kedua, ia ingin mengingatkan kita semua, bahwa KPU dan Bawaslu selaku Pejabat Negara dan penyelenggara Pemilu pernah disumpah untuk menjalankan UU dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya.
"Kalau sudah disumpah, sudah barang tentu dalam membuat aturan tidak boleh melanggar UU," tegas Henry.
Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) itu tentu tidak meragukan semua parpol yang ada di DPR pasti memiliki semangat anti korupsi.
"Yang jadi persoalan, sekarang kita bukan hanya bicara politik saja, tapi bicara hukum, pertama kita harus tunduk melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan selurus-lurusnya. Kalau sudah diputuskan MK, pasal yang sudah diatur Pemerintah dengan DPR sudah sepakat pidana 5 tahun ke atas. Tapi MK sudah membatalkan itu," imbuhnya.
Dengan demikian, Henry melihat dari sisi asas hukum, bahwa KPU tidak punya kewenangan untuk membuat suatu aturan yang bertentangan dengan dari aturan yang lebih tinggi.
"Dalam hal sudah terjadi, ada peraturan lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka istilahnya nietigheid van rechtswege atau batal demi hukum," paparnya.
Menurut Henry, KPU memang punya kewenangan dalam membuat KPU. Tapi jangan bertentangan dengan norma yang sudah ada.
"Kalau mau begitu, rubah dulu UU-nya tentang KPU diberikan kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Membuat aturan sejajar UU. Buat aturan lagi, bahwa Putusan MK itu tidak Final and binding (final dan mengikat)," cetus Henry.
Henry menambahkan, kalau seseorang ingin nyaleg, mau partai apapun mencalonkan, kalau dia secara terbuka sudah membuka statusnya sebagai mantan Napi, maka serahkan saja ke rakyat.
"Itu (bursa Calon Anggota Legislatif) sudah urusan pasar," tuturnya.
Kalau pun nanti PKPU itu diundangkan, lanjut Henry, dengan sikap arogan KPU, mudah-mudahan tidak mengalami kekalahan sampai keempat kalinya.
"Saya ingatkan KPU yang pernah kalah di Bawaslu dalam beberapa kasus. Jangan sampai nanti ini menambah kekalahan KPU lagi. Karena saya melihat dari prinsip hukumnya, karena ini bertentangan dengan asas dan prinsip hukum," demikian Henry.