Kota Bima, Gesuri.id - Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bima, H. Ahmad Yadiansyah menegaskan proses perpindahan penduduk ke tempat relokasi dan pembongkaran rumah warga pinggiran sungai harus dilakukan secara humanis, tanpa ada tindakan represif.
Itu dikatakannya menyikapi berbagai keluh kesah warga terkait rencana pembongkaran sejumlah rumah di bantaran sungai.
Baca: Dijamu Wali Kota Busan, Puan: Annyeonghaseyo-Kamsahamnida
"Terkait rencana Pembongkaran sejumlah rumah dibantaran sungai dan memindahkan warga ke tempat relokasi, kami meminta Pemerintah Kota Bima agar melaksanakannya dengan cara yang humanis, tanpa ada tindakan represif," ujarnya, Minggu (6/11).
Menurut H. Yadi, sapaan akrabnya, pemerintah Kota Bima semestinya melakukan kegiatan pembongkaran dan merelokasi warga bantaran sungai, setelah terpenuhinya keinginan rakyat yang adil dan makmur.
Itu artinya, lanjutnya, semua janji yang disampaikan oleh pemerintah seperti penyediaan fasilitas umum seperti, air bersih, rumah layak huni, jaringan internet, bangunan sekolah, rumah ibadah dan puskesmas di wilayah rumah relokasi harus sudah terpenuhi semua.
"Wajar jika perpindahan penduduk ke rumah relokasi ditolak oleh warga. Karena apa yang menjadi keinginan atau tuntutan mereka seperti Fasilitas Umum (Fasum) maupun kebutuhan primer, sekunder dan tersier belum bisa dipenuhi oleh pemerintah," ungkap H. Yadi saat diwawancarai di Rumah Juang, Kelurahan Sambinae, Minggu (6/11) sore.
Aji Yadin pun menegaskan, Pemerintah Kota Bima baiknya segera penuhi apa yang menjadi tuntutan warga, karena dengan dasar itulah warga bantaran sungai akan mau digusur rumahnya, dan dipindahkan ke tempat relokasi.
"Sebaiknya Pemerintah segera penuhi apa yang menjadi tuntutan warga bantaran sungai, karena dengan dasar itulah warga akan mudah pindah ke tempat relokasi", ujar mantan anggota DPRD Provinsi NTB ini.
Untuk diketahui, total warga yang direlokasi di Kota Bima ini, sebanyak 1.200 rumah yang tersebar di sepanjang sungai Padolo dan Melayu. Sungai ini, merupakan 2 sungai besar yang membentang dari arah timur dan utara Kota Bima.
Program relokasi menjadi bagian dari proses rehabilitasi dan rekontruksi, pasca banjir bandang yang melanda Kota Bima tahun 2016 lalu.
Warga yang tinggal di sepanjang sungai dengan jarak 5 meter dari bibir sungai, akan dibongkar rumahnya, dan warganya dipindahkan di rumah relokasi Jati baru, Oi fo'o dan Kadole.
Selain itu, juga ada warga yang memilih untuk membangun rumah pengganti di lahan miliknya sendiri, dikenal dengan relokasi mandiri. Sedangkan untuk lahan kosong, tidak dimasukkan dalam data relokasi karena pendataan berbasis bangunan.
Diketahui, rencana Pemerintah Kota Bima yang ingin melakukan pembongkaran terhadap sejumlah rumah warga di bantaran sungai pada Senin (7/11), mendapat reaksi penolakan dari sejumlah warga. Pasalnya apa yang menjadi tuntutan mereka berdasarkan komitmen Pemerintah terkait saran dan prasarana, hingga hari ini belum juga kunjung direalisasikan.
Adapun tuntutan dari warga bantaran sungai Padolo Tolo Dara terkait sarana dan prasarana yakni antara lain, sekolah PAUD, Puskesmas atau polindes, Rumah Ibadah, jaringan internet, dan kejelasan status rumah.
"Kami berharap agar Pemerintah Kota Bima bisa memenuhi apa yang menjadi tuntutan kami yang antara lain, hadirkan sekolah PAUD, Puskesmas, Rumah Ibadah dan meminta kejelasan status rumah Relokasi", ujar Efen yang juga Ketua RT 01 Tolo Dara Kelurahan Dara.
Efen juga menyoroti Pemerintah bahwa, hingga saat ini masih ada rumah relokasi warga yang tidak memiliki septi tank.
Ditanya soal agenda pembongkaran yang akan dilakukan pada Senin (6/11) besok, Efen dengan tegas mengatakan, pemerintah harus memulainya dari titik nol arah barat sungai. Artinya, memulai pembongkaran dan perataan bangunan dari toko-toko besar di sepanjang bantaran sungai.
"Jangan rumah warga yang kecil-kecil ini saja dong. Kami minta harus mulai dari titik nol di bagian barat jembatan," tegasnya.
Selain itu, Fatma yang juga warga di wilayah yang sama, mengeluhkan terkait jauhnya tempat rumah Relokasi dengan perkotaan sehingga menyulitkan ia berdagang ikan.
"Saya sudah setahun tinggal di Kadole, bolak balik ga menetap. Gimana mau menetap, saya jualan ikan di sini. Kalau jualan di sana (Kadole) siapa yang mau beli, tidak ada orang," ungkapnya, Minggu (6/11).
Warga lainnya Suharni mengungkap, tidak adanya jaringan telepon dan internet menjadi alasan kenapa dirinya enggan pindah.
Apalagi anak-anaknya sekolah aktif menggunakan handphone, sehingga dirasa tidak layak untuk tinggal di Kadole.
Baca: Puan Teruskan Legacy Bung Karno & Megawati untuk Korsel
"Belum lagi kondisi rumah saya, sudah tidak layak. Pertama-tama selesai dibangun, itu bagus. Tapi lima atau enam bulan kemudian, semua lantai rumah saya menggelembung, tembok retak," beber Suharni.
Dua warga ini mengakui, telah menandatangani surat pernyataan bersedia di relokasi saat pendataan. Namun saat itu tegasnya, pemerintah berjanji akan membangun fasilitas dasar bagi masyarakat seperti sekolah dan lainnya.
"Kami mau pindah, kami mau rumah kami dibongkar, tapi lengkapi dulu fasilitas kami di atas sana," tegasnya.