Jakarta, Gesuri.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan akan menggunakan kewenangan dikresi hukum di Kejaksaan, terutama untuk kasus yang dialami masyarakat kecil.
Burhan mengatakan, hal ini perlu dilakukan menyusul banyak kasus yang menimpa masyarakat kecil dan dirasa tak cukup memenuhi rasa keadilan.
Baca: ST Burhanuddin: Jangan Asal Jerat Pidana Kepala Desa
Ia pun mencontohkan, kasus seorang kakek di Sumatera Utara yang mencuri karet seharga Rp 17.000.
"Saya juga akan melakukan diskresi atas beberapa perkara yang menyentuh hati masyarakat. Ada beberapa perkara misalnya pencurian, yang terakhir itu di Sumatera Utara adalah karet yang harganya hanya 17.000," kata Burhan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (24/2).
Burhan mengatakan, ia tak bisa menyalahkan jaksa dalam memutuskan sebuah kasus. Menurutnya, jaksa sedang menjalankan aturan formil.
Di sisi lain, kata Burhan, aturan formil kerap kali tidak menggunakan hati nurani. Oleh karenanya, Burhan menilai rasa keadilan itu harus ada untuk masyarakat kecil.
"Saya ingin mengajak teman-teman harus tetap memperhatikan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Ini saya sampaikan mumpung para kejati ngumpul di sini," ujarnya.
Lebih lanjut, Burhan mengatakan, dalam waktu dekat Kejaksaan Agung akan menggunakan dikresi tersebut.
"Dalam waktu dekat saya akan buat aturan itu, dan saudara laksanakan, kalau saudara masih melukai hati masyarakat saya akan tindak," pungkasnya.
Diberitakan, Samirin, kakek 68 tahun asal Simalungun, Sumatera Utara divonis dua bulan penjara setelah terbukti mencuri geta pohon karet seberat 1,9 kilogram.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat. Getah karet senilai Rp 17.000 tersebut dipungut Samirin di perkebunan PT Brigstone Kecamatan Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun. Samirin sempat ditahan di Polsek Serbelawan, Polres Simalungun pada 17 Juli 2019.
Baca: Akui Belum Penuhi Rasa Adil, Jaksa Agung Bentuk Diskresi
Polisi kemudian melimpahkan kasus ini pada 12 November 2019 ke Kejari Simalungun. Pelimpahan itu bersama barang bukti getah karet dengan ancaman UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Jaksa menuntut Samirin dengan ancaman 10 bulan penjara. Namun, pada Rabu (15/1) hakim memutus Samirin dengan penjara 64 hari. Samirin yang sudah menjalani masa penahanan selama 63 hari akhirnya bebas.