Jakarta, Gesuri.id - Ketua DPN REPDEM (organisasi sayap PDI Perjuangan) Bidang Hubungan Luar Negeri, Ronas Pardianto memaparkan mengenai perkembangan sistem kenegaraan China.
Ronas mengungkapkan, apabila kita mempelajari dan mengikuti perjalanan sejarah China, maka tampak bahwa demokrasi liberal hanya menghasilkan peningkatan koruptor di tempat tersebut.
Baca: Orasi Kebangsaan, Puan Sampaikan "Cinta" Bung Karno ke NU
"Peralihan China dari Kerajaan Ke Komunis sesungguhnya bukan ideologinya, tetapi 'Maintance Nasionalisme' nya, karena paham Komunisme itu sendiri tidak pernah sungguh sungguh dijalankan Beijing sejak 1949," ujar Ronas.
Dia melanjutkan, Pemerintahan nasionalis di China hanya berkuasa selama 37 tahun ( Guomindang ), dan menghasilkan korupsi yang lebih besar sehingga meluluhlantahkan bangsa tersebut.
Guomindang juga menciptakan kerusakan fatal bagi mentalitas masyarakatnya.
Kehadiran Mao dari partai Komunis saat itu ibarat harapan cerah bagi masyarakat China yang muak dengan kerusakan-kerusakan itu.
"Kemudian sejak 1949 Mao Tse Tung melakukan pemulihan mentalitas rakyatnya, dilanjutkan oleh Deng Xiaoping melakukan pemulihan ekonomi bangsanya," ungkap Ronas
Kini, sambung Ronas, Xi Jinping melanjutkannya dengan membawa negerinya ke kancah dunia. Dan hal itu menjadi ancaman bagi "White Supremacy", dimana bangsa timur khususnya Asia harus dibawah Barat, bukan sejajar apalagi melebihi mereka.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia ?
"Negeri kita sejak kemerdekaan 1945 pun pernah merasakan demokrasi liberal dan menghasilkan kegagalan juga. Namun berbeda dengan China yang menjalankan nasionalisme berbaju komunis, Presiden Soekarno menjalankan nasionalismenya dengan tetap berbaju nasionalis, dengan memberlakukan 'Demokrasi Terpimpin' (Demokrasi yang dipimpin oleh Ideologi Pancasila) sejak 1957," ujar Ronas.
Baca: Demokrasi Liberal Tak Sesuai Lagi dengan Kepribadian Bangsa
Namun, sambung Ronas, sejak 1965 Indonesia memasuki "Masa Kegelapan". Dan baru 2014 Indonesia kembali mulai terpasang relnya, dengan pengecualian di Masa Transisi yakni Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri.
"Praktis selama hampir 49 tahun bangsa kita tertinggal dengan China," ujar Ronas.
Ronas melanjutkan, optimisme Indonesia 2045 akan masuk "The Big 5 of Global Economic" berpotensi terhambat bila demokrasi liberal masih berjalan langgeng. Meski memang diakui Ronas, bahwa demokrasi liberal yang ada di Indonesia pasca reformasi memang harus ada, sebagai pendidikan politik sekaligus me-retreat bangsa kita untuk akhirnya kembali ke sistem demokrasi terpimpin.
"Mengembalikan sistem pemilu misalnya, dari langsung ke lembaga legislatif. Kemudian mengembalikan sistem presidensial secara utuh, menghidupkan kembali tradisi musyawarah daripada bersandar pada voting, " ungkap Ronas.
"Indonesia masih dapat mengejar ketertinggalan, hanya bila sistemnya kembali secara utuh," tambahnya.