Bontang, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan Bontang, Agus Suhadi menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang memuat aturan tentang perpajakan dan cipta lapangan kerja.
Dengan catatan, lanjutnya, memang harus dilakukan pengkajian lebih lanjut dalam rangka menyerap respon dan keinginan publik.
"Yang jelas tak semena-mena mensahkan. Perlu mengkaji. Saya pribadi masih pelajari. Karena ini banyak kontra dan pro, kita serahkan saja (ke pusat). Ini, kan, lagu dibahas. Semua di atas ada yang ngatur. Kalau saya sih setuju, hanya waktu saja ini," tuturnya, Minggu (15/3).
Pro dan kontra memang terus bergulir, sebab bagi buruh dan pekerja RUU tersebut tak berpihak bagi mereka.
Namun bagi pemerintah, Omnibus Law merupakan angin segar untuk dunia investasi.
Selain itu dinilai mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan cepat.
Anggota DPRD Bontang itu dilansir Tribunkaltimco menganggap RUU Omnibus Law hanya perlu dikaji lebih dalam. Ia tidak menolak atau secara tegas mengaku mendukung RUU tersebut.
"Omnibus Law itu bagus. Tapi pro-kontra itu biasa. Tujuannya Omnibus Law bagus, cuma perlu disosialisasikan. Saya yakin tak dalam tempo sekarang disahkan. Mungkin waktunya bisa setengah tahun atau 1 tahun ke depan. Jadi perlu pengkajian," ungkapnya.
Ia juga tak mau terjebak soal keberpihakan hadirnya RUU tersebut kepada kelompok atau golongan tertentu.
"Bagi kita, orang punya cara menilai masing-masing, secara pribadi, dilihat arah kita memandang. Dari satu sisi dia tidak berpihak, tapi salah satu berpihak. Maka itu perlu namanya pengkajian lagi," jelasnya, usai ditanya soal anggapan bahwa RUU Omnibus Law tak berpihak kepada buruh.
Pemberitaan sebelumnya, penolakan produk hukum pemerintah pusat yakni Rancangan Undang-Undang (UU) Omnibus Law tak hanya disuarakan oleh para aktifis. Golongan politisi juga ikutan dalam silang sengkarut perdebatan keberadaan UU tersebut.
Di Kota Bontang, Wakil Ketua DPRD Bontang, Agus Haris secara terang-terangan menolak UU Sapu Jagat tersebut. Ia menganggap beberapa pasal dalam UU tersebut tak berpihak kepada kelompok buruh dan pekerja.
Beberapa memang harus ditolak.
Khususnya yang menyangkut soal kesejahteraan, keberlangsungan hidup.
"Kalau UU ketenagakerjaan dulu, menjamin soal penetapan pegawai (tetap)," ujarnya, membandingkan dengan produk hukum sebelum munculnya UU Omnibus Law.
Politisi Gerindra Bontang tersebut percaya bahwa Omnibus Law tidak akan membuat para pekerja sejahtera, lantaran buruh dan pekerja akan selalu menjadi tenaga kontrak.
Baginya, tak ada penghargaan penghidupan bagi buruh jika benar UU tersebut diberlakukan.
"Harusnya dua tahun berturut-turut bekerja, saat masuk tahun ketiga mereka jadi tenaga organik," ucapnya.
"Nah, kalau Omnibus Law ini tidak ada lagi pesangon, tidak ada lagi tenaga bulanan, semua outsourcing (kontrak)," sambungnya.
Lebih lanjut, Agus Haris yang juga turut meramaikan bursa kepala daerah kontestasi Pilkada 2020 di Kota Bontang, menganggap konsep kerja dalam UU Sapu Jagat itu hanya menguntungkan perusahaan yang setiap tahunnya meraup untung.
Sementara tenaga kerja yang bertahun-tahun bekerja, tak kunjung mendapat kepastian.
Mereka bakal selalu harap-harap cemas menatap hari esok, apakah masih bertahan atau diminta angkat kaki.
UU Omnibus law juga disebut akan memudahkan masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, khususnya Bontang.
Bukannya takut bersaing, ujar Agus Haris.
Namun, betapa tak bisa ia bayangkan bila TKA yang datang merupakan temaga kerja unskill.
Sama saja investasi yang dibangun perusahaan tidak berdampak bagi tenaga kerja lokal.
"Makanya saya membela para pekerja untuk menolak, kasian mereka kalau TKA semua masuk, antara kepentingan perusahaan dan pekerja ini memang agak sulit ketemu," akunya.
Ia meminta pemerintah meninjau ulang UU Omnibus Law sebelum diberlakukan.
"Kalau tidak ada pekerja tidak bisa bergerak (perusahaan), makanya harus imbang. Harus ada penghargaan penghidupan buat mereka (pekerja)," tutupnya.