Jakarta, Gesuri.id - DPRD DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perhatikan dampak dari sanksi tindak pidana ringan (tipiring) yang akan dilakukan Satpol PP pada Agustus 2024.
Diketahui, Satpol PP DKI Jakarta mengancam akan membawa Pak Ogah, pengamen, pengemis, dan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) lainnya.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Dwi Rio Sambodo mengatakan, penanganan masalah Pak Ogah, pengamen hingga pengemis ini diharapkan tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Baca: PDI Perjuangan Akan Umumkan Sikap Politiknya di Kongres 2025
Apalagi sampai terjadi konflik horizontal antara warga khususnya Pak Ogah, pengamen hingga pengemis dengan pihak Pemprov dan penegak hukum.
“Pemprov seharusnya mengadakan evaluasi mengapa tindakan yang diambil untuk mengatasi masalah ini ternyata tidak menimbulkan dampak signifikan terkait upaya pembinaan dan pemberdayaan,” kata Rio, Minggu (14/7).
Rio mengatakan, berangkat dari evaluasi tersebut Pemprov wajib memahami kondisi sosial warganya.
Apalagi, fakta di lapangan terjadi ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural yang membuat mereka memilih jalan menjadi Pak Ogah hingga pengemis untuk menghidupi keluarga di rumah.
"Hal ini harus segera disadari oleh Pemprov, jika memilih kebijakan untuk pempidanakan Pak Ogah, pengamen hingga pengemis dengan kurungan penjara atau denda Rp 30 juta, lantas keluarga mereka bagaimana nasibnya? tentunya masalah ini menjadi lingkaran setan,” jelas Rio.
Lalu, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta itu mempertanyakan latar belakang operasi ini, apakah sekadar masalah ketertiban atau ada masalah sosial lainnya.
Dia berujar bahwa pendekatan humanistik harus menjadi instrumen dalam menyikapi hal tersebut.
“Artinya penyebabnya juga harus diselesaikan misalnya masalah kemiskinan dan asas pemerataan pembangunan di Jakarta yang belum optimal sehingga memperluas gap sosial yang ada di masyarakat,” tuturnya.
Baca: Adian, Ganjar, Ahok Diyakini Tingkatkan Kinerja PDI Perjuangan
Menurut Rio, paradigma Jakarta sebagai Kota berkeadilan sosial dan berkebudayaan juga harus direpresentasikan dalam setiap kebijakan pembangunan di Jakarta.
Hal ini agar Jakarta menjadi kota yang inklusif bagi semua kelompok, tanpa mendiskriminasikan kelompok lain dalam hal ini Pak Ogah, pengamen hingga pengemis.
“Penangannya harus simultan bersama stakeholder yang ada seperti kepolisian dan Dishub agar hasilnya lebih optimal tanpa tindakan yang represif. Langkahnya dipastikan terpimpin, terencana, menyatu, terpadu dan utuh secara pendekatannya,” pungkas Rio.