Jawa Timur, Gesuri.id - Wakil Ketua PDI Perjuangan Jawa Timur, Eddy Tarmidi Widjaja menegaskan tidak ada kewajiban dari warga membayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) kepada pengembang atau developer.
Baca: Pemprov DKI Harus Evaluasi Total Soal Sumur Resapan
Sebab, Eddy mengingatkan dalam mengelola lingkungan di sebuah perumahan atau pemukiman di suatu daerah harus dikelola secara gotong royong antara warga perumahan, pengembang perumahan, serta pemerintah daerah (three parted).
Dan, lanjutnya, segala biaya yang timbul pun ditanggung secara gotong royong dan keuangannya dikelola secara transparan.
"Indonesia negara Pancasila bukan negara kapitalisme, salah satu nilai Pancasila menurut Bung Karno yaitu GOTONG ROYONG sering kita lupakan," ujar Eddy Tarmidi Widjaja dalam keterangan tertulis kepada Gesuri, Rabu (8/12).
Untuk itu, Eddy juga menyarankan dibentuk koperasi koperasi warga perumahan dalam mengelola lingkungan.
Terkait peraturan menteri dalam negeri nomor 9 tahun 2009 tentang “pedoman penyerahan prasarana, sarana dan utilitas perumahan & pemukiman di daerah", Eddy menegaskan Pancasila dan UUD 45 adalah sumber segala sumber tertib hukum di indonesia, mutlak & tidak ada kompromi lagi.
Pasal 33 UUD 45, ujarnya, jelas mengatakan fungsi sosial tanah tidak boleh dihilangkan. Segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh di kuasai oleh perorangan, golongan atau korporasi untuk kepentingan perorangan, golongan atau korporasi itu sendiri.
Ia menjelaskan pengembang atau developer adalah badan hukum yang membantu pemerintah menyediakan perumahan dan segala sarana & prasarananya.
Ia mencontohkan seperti umumnya badan usaha boleh profitebel dalam menjalankan usahanya, pengembang membantu pemerintah membangun perumahan kemudian dijual, boleh untung, setelah selesai satu cluster serahkan kembali ke pemerintah untuk dikelola pemerintah daerah kawasan tersebut.
"Jadi bukannya terus mengusai kawasan perumahan tersebut kemudian memajaki warganya dengan pungutan iuran pengelolaan lingkungan yang tinggi dan memberatkan warganya," tegasnya.
Menurutnya, dalam membangun suatu kawasan juga ada aturannya menurut UU, hanya 60% kawasan yang boleh dijual, sementara sisanya 40% harus berupa prasarana sarana dan utilitas perumahan.
Ia membeberkan peraturan menteri dalam negeri nomor 9 tahun 2009 tersebut jelas mengatur semua hal tersebut diatas. Salah satu pasalnya yakni:
Pasal 25 ayat 1 berbunyi :
Pembiayaan prasaran sarana Dan utilitas sebelum di serahkan ( kepada pemerintah daerah ) menjadi tanggung jawab pengembang perumahan .
Baca: Kejanggalan Proses Rekrutmen Direksi PT Transjakarta
"Jadi jelas menurut peraturan menteri dalam negeri tersebut “menjadi tanggung jawab pengembang perumahan“. Jadi “bukan” warga perumahan," ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, pernah ada putusan Mahkamah agung No3145 k /Pdt/2018 pada kasus Sentul City yang menguatkan Putusan PN Cibinong No 285/Pdt.G/2016/PN Cbi. Bahwa tidak ada kewajiban warga Sentul City membayar iuran pengelolaan lingkungan . Putusan MA tersebut seharusnya bisa menjadi Yurisprodensi hukum .
"Mungkin disengaja atau tidak karena kurangnya sosialisasi peraturan menteri dalam negeri ini telah sering mengakibatkan konflik antara pengembang perumahan dan warga perumahan, tidak sedikit yang berujung ke pengadilan atau timbul pertikaian dengan kekerasan," tandasnya.