Ikuti Kami

Generasi Stunting Berisiko Dapatkan Penghasilan Yang Lebih Rendah

Generasi anak stunting ketika tumbuh dewasa berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah.

Generasi Stunting Berisiko Dapatkan Penghasilan Yang Lebih Rendah
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.

Jakarta, Gesuri.id - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan bahwa generasi stunting berisiko mendapatkan penghasilan lebih rendah saat tumbuh dewasa, dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.

"Generasi anak stunting ketika tumbuh dewasa berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting, dan menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun," kata Hasto saat hadir dalam jaringan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) posisi iBangga tahun 2022 di Jakarta, Kamis (24/8).

Hasto menegaskan, untuk mencegah hal tersebut, maka diperlukan kolaborasi secara berkelanjutan untuk meningkatkan investasi modal manusia dimulai dari 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau di usia 0-24 bulan.

Baca: Ita Raih Penghargaan Dharma Karya Kencana dari BKKBN

"Investasi modal manusia dimulai dari mempersiapkan template (contoh) manusia yang dicetak pada periode pertama perkembangan dan pertumbuhan organnya termasuk otak, yaitu periode 1000 Hari Pertama Kehidupan," ucap dia.

Hasto menyampaikan data bahwa Indonesia adalah rumah bagi 4,7 juta balita yang mengalami stunting atau prevalensinya 21,6 persen pada tahun 2022, untuk itu, diperlukan kecepatan penurunan sebesar 5,6 persen per tahun untuk menuju target 14 persen pada tahun 2024.

Ia juga menjelaskan, untuk menyambut Indonesia Emas 2045, selain mempersiapkan kualitas anak pada 1000 HPK, juga diperlukan perencanaan kehidupan berkeluarga, serta peningkatan kualitas asuhan yang berkesinambungan antara ibu dan anak.

Kemudian, penting juga memprioritaskan pengurangan ekspos remaja terhadap perilaku berisiko seperti perkawinan anak, penggunaan obat terlarang atau merokok, serta peningkatan produktivitas lanjut usia (lansia) untuk menciptakan keluarga yang berketahanan.

"Besar sekali makna perubahan komposisi penduduk dalam skenario pembangunan nasional, untuk itu investasi modal manusia sangat perlu memperhatikan siklus hidup, dan memastikan tidak ada yang tertinggal," tuturnya.

Baca: Azalea Beri Edukasi Pentingnya Parenting Guna Atasi Stunting

Ia juga menyebutkan bahwa keluarga menjadi pusat pembelajaran manusia yang menghubungkan individu dengan masyarakat luas, dan sebagai saluran penerus kebudayaan suatu masyarakat, sehingga perlu penguatan program Keluarga Berencana (KB) untuk memaksimalkan sumber daya sosial dan ekonomi.

"Keluarga juga menjadi institusi yang kokoh dalam membangun ketahanan sosial. Keluarga perlu memiliki sistem kepercayaan yang kuat dengan Tuhan, punya kapasitas organisasi untuk memobilisasi sumber daya sosial dan ekonomi, dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara kolaboratif, sehingga bisa bertahan terhadap stressor (tekanan)," kata dia.

Menurutnya, pengalaman pandemi COVID-19 merupakan salah satu contoh terbaik dimana keluarga Indonesia dapat melakukan adaptasi yang sangat baik untuk bertahan di tengah ketidakpastian dan ketakutan.

Ke depan, ia berharap program pembangunan keluarga, kependudukan dan keluarga berencana (Bangga Kencana) dapat lebih maju dan berkembang untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pembangunan keluarga, untuk menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045.

Quote