Semarang, Gesuri.id – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta seluruh pemerintah daerah membuka informasi yang dimiliki kepada masyarakat secara transparan. Keterbukaan informasi ini selain bagian dari komitmen penyelenggaraan pemerintahan yang transparan namun juga diyakini akan efektif dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
Hal ini disampaikan Ganjar saat melantik anggota Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah Masa Jabatan Tahun 2018–2022 di Gedung Grhadhika Bhakti Praja, Jumat (3/8). Anggota KIP yang dilantik diantaranya, Zainal Abidin, Sosiawan, Wijaya, Slamet Haryanto, dan Handoko Agung Saputro.
Baca: Ganjar: Ibadah Haji Jadi Momen Instropeksi Diri
“Sudah zamannya, sudah eranya kita membuka informasi dengan sangat transparan. Maka izinkan saya menyosialisasikan, besuk kami akan sedikit memaksa daerah yang belum membuka informasi, kami minta membuka,” katanya.
Ganjar mengatakan dengan teknologi informasi yang berkembang dengan pesat, keterbukaan informasi bukan hal yang sulit dilakukan. Melalui website dan media sosial pemerintah bisa membuka informasi yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Seperti yang dilakukan oleh Pemprov Jateng yang meminta seluruh SKPD-nya memiliki akun medsos guna menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Tidak hanya digunakan untuk membuka informasi yang sifatnya anggaran atau kebijakan dan kegiatan harian, akun medsos tersebut digunakan untuk merespon laporan masyarakat dengan cepat.
“Kawan kawan di Pemprov saya minta punya akun medsos dan kemudian mereka harus merespon cepat. Bahkan yang dibuka tidak hanya informasi yang sifatnya anggaran atau kebijakan, namun juga kegiatan harian,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini tidak hanya mendorong keterbukaan informasi untuk pemerintah kabupaten/ kota, tapi desa-desa juga ikut didorong melakukan keterbukaan informasi dengan cara memajang alokasi APBDes-nya di depan kantor kepala desa. Saat ini, menurutnya, desa yang sudah memajang APBDes sudah mencapai 80 persen. Bahkan ada beberapa desa yang sudah memiliki website dan akun media sosial untuk merespon laporan masyarakat.
“Saya meminta desa-desa untuk memajang seluruh APBDes-nya. Hari ini sudah 80 persen, bahkan beberapa desa ada ormas yang mendorong itu dan membantu ikut memublikasikan, maka semua sekarang bisa melihat itu,” terangnya.
Ganjar juga mengingatkan keterbukaan informasi tidak berarti harus sepenuhnya terbuka tanpa ada batas, namun ada informasi yang tidak boleh disampaikan kepada publik. Karenanya, para komisioner yang baru dilantik diminta untuk memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat terkait keterbukaan informasi tersebut.
“Silahkan untuk para komisioner melakukan penilaian dan kunjungan dan sekaligus juga advokasi bagaimana membuka informasi dengan benar dan baik. Tapi kami juga minta rumus, kami minta formula bagaimana menangani mereka yang tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Sementara itu, Komisioner KIP Jateng yang baru dilantik, Zainal Abidin mengatakan upaya Pemprov Jateng untuk mendorong keterbukaan publik di kabupaten/ kota hingga desa sangat diacungi jempol. Menurutnya, dana APBD maupun APBDes bersumber dari rakyat, sehingga pengelolaanya harus transparan dan akuntabel.
Pihaknya akan melakukan sosialisasi dan advokasi kepada pemerintah daerah, utamanya desa agar bisa mengelola dana desa dengan baik dan benar sesuai dengan peruntukannya.
“Anggaran desanya itu kan Rp800 juta –Rp1 miliar lebih. Kalau itu nanti tidak diadvokasi bisa bahaya, apalagi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mewajibkan dana desa harus terbuka dan transparan. Jadi menerima pendapatan anggaran berapa, untuk apa, dan perencanaan program kegiatan yang menggunakan desa harus disusun dengan unsur masyarakat,” terangnya.
Pada 2018 ini Komisioner KIP Jateng, akan berkonsentrasi pada keterbukaan informasi dana partai politik karena dana tersebut juga bersumber dari rakyat. Sehingga penggunaannya juga harus transparan agar masyarakat bisa mengetahuinya.
Terlebih lagi menurut ketentuan Permendagri Nomor 6 Tahun 2017 peruntukan dana parpol tersebut minimal 60 persennya harus digunakan untuk pendidikan politik, bukan untuk operasional partai ataupun dibagi-bagikan kepada anggota partai. Jika penggunaan dana parpol tidak sesuai dengan peruntukannya bisa dikategorikan debagai tindak pidana korupsi.
Baca: Ganjar Dukung Konsep Kafe Buku di Boyolali
“Kami akan melakukan sosialisasi dan advokasi supaya parpol bisa terbuka anggarannya karena harus digunakan untuk pendidikan politik 60 persen minimal, bukan untuk operasional partai. Kalau nanti BPK menemukan tidak dipakai dengan semestinya, itu akan dikategorikan korupsi,” katanya.
Zainal berharap parpol dapat lebih terbuka dan menggunakan dana parpol yang diberikan untuk pendidikan politik masyarakat. Sehingga mereka sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan masyarakat teredukasi dalam kaitannya dengan pendidikan politik.