Ikuti Kami

Ima Mahdiah Minta Kaji Ulang Kebijakan Pemberhentian Guru Secara Sepihak

Hal ini berkaca pada kebutuhan guru di sekolah negeri Jakarta yang dinilai masih kurang.

Ima Mahdiah Minta Kaji Ulang Kebijakan Pemberhentian Guru Secara Sepihak
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Ima Mahdiah.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Ima Mahdiah mengatakan, menolak kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait penataan dan pembersihan tenaga honorer, terutama guru honorer.

Hal ini berkaca pada kebutuhan guru di sekolah negeri Jakarta yang dinilai masih kurang.

Kebijakan ini dinilai merugikan guru-guru yang telah berkontribusi besar dalam dunia pendidikan dan berpotensi mengganggu sistem pembelajaran di sekolah-sekolah.

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Tak Berniat Ikuti Pilkada

“Penataan tidak boleh dilakukan dengan cara yang merugikan guru-guru yang telah berkontribusi besar dalam pendidikan," ucapnya, Kamis (18/7).

"Kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam karena masih banyak sekolah yang kekurangan guru dengan kualifikasi linear,” imbuh Ima.

“Jika kebijakan cleansing ini terus dilakukan, dikhawatirkan akan mengganggu sistem pembelajaran di sekolah-sekolah,” lanjut politisi PDIP ini.

Selain itu, Fraksi PDIP DPRD Jakarta juga menyoroti potensi tumpang tindih antara kebijakan daerah dan kebijakan pusat terkait penghapusan tenaga honorer, termasuk guru honorer.

Kebijakan penataan tenaga honorer ini sebenarnya merupakan kebijakan yang awalnya dibuat oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pasal 66 UU tersebut mengharuskan seluruh instansi pemerintahan pusat maupun daerah melakukan penataan pegawai non-ASN dengan batas waktu hingga Desember 2024.

Ima menyebut, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pegawai pemerintahan dengan mengakui hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan ASN, bukan untuk melakukan pemecatan atau pun pembersihan (cleansing).

“Jadi menurut kami, Pemprov sudah gagal memahami apa amanat dari UU tersebut,” imbuhnya.

Masalah ini juga terjadi karena ada salah kelola dari proses rekrutmen tenaga honorer pendidikan.

Banyak guru honorer diangkat kepala sekolah tidak melalui mekanisme pengangkatan yang sesuai prosedur, dipengaruhi oleh faktor subjektivitas, dan seleksi yang tidak sesuai ketentuan.

"Pengangkatan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan di sekolah dan tidak ada rekomendasi dari dinas pendidikan. Hal ini yang akhirnya menjadi temuan BPK,” tegas Ima.

Selain itu, banyak guru honorer yang secara pengalaman sangat mumpuni, tetapi tidak mendapatkan kuota atau sertifikasi untuk menjadi ASN atau PPPK karena harus bersaing dengan lulusan baru.

Status guru honorer yang tidak tersertifikasi di beberapa bidang menjadi hambatan besar bagi mereka.

Mereka dipekerjakan oleh sekolah negeri karena terdaftar dalam data pokok pendidikan, meskipun tidak memiliki sertifikasi khusus yang diperlukan, seperti sertifikasi guru agama.

Baca: Ganjar Pranowo: Dari Pengacara hingga Gubernur

Serikat guru juga telah menyatakan bahwa guru honorer digaji oleh pusat melalui dana BOS via APBD, sehingga seharusnya tidak membebani daerah.

“Kebijakan cleansing ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah yang perlu segera diselesaikan," ucapnya.

"Kami berharap pemerintah daerah segera melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat untuk menemukan solusi terbaik bagi para guru honorer,” lanjutnya.

Dia menambahkan, Fraksi PDI Perjuangan mendesak Pemprov Jakarta untuk melakukan penataan tenaga honorer dengan bijak dan memperhatikan kesejahteraan guru yang telah lama mengabdi.

Quote