Ikuti Kami

Ini Poin Utama Gugatan Prapradilan Penetapan Hasto Tersangka KPK

Terungkap 8 Poin Utama Gugatan Prapradilan Penetapan Hasto Tersangka KPK

Ini Poin Utama Gugatan Prapradilan Penetapan Hasto Tersangka KPK
Tim Kuasa Hukum Hasto, Ronny Talapessy.

Jakarta, Gesuri.id - Gugatan Prapradilan yang diajukan Hasto Kristiyanto atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).

Ada sejumlah poin utama yang disampaikan Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto tentang tidak sahnya penetapan status tersangka oleh KPK.

Poin-poin itu diungkap oleh Tim Kuasa Hukum Hasto, dengan dibacakan secara bergantian oleh antara lain Ronny Talapessy, Todung Mulya Lubis, dan Maqdir Ismail di depan majelis hakim.

Pertama, penetapan status tersangka itu dilakukan tanpa pemeriksaan terhadap Hasto Kristiyanto, dimana hal ini bertentangan dengan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.

Penjelasannya, Putusan MK tersebut menegaskan bahwa proses penetapan Tersangka dan penyidikan seseorang sampai menjadi Tersangka membutuhkan bukti permulaan, yaitu minimum dua alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan Calon Tersangkanya.

Baca: Ganjar Tegaskan Seluruh Kader PDI Perjuangan Taat Pada Aturan

Namun di dalam perkara ini, Hasto belum pernah memberikan keterangannya atas perkara    tersebut    baik    itu    dalam   Surat    Perintah    Penyidikan    Nomor: Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23  Desember 2024 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.

Dengan kata lain, KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka tanpa pernah  memanggil  dan/atau  meminta  keterangannya terlebih  dahulu  secara  resmi  sebagai  Saksi/Calon  Tersangka.

“(Hal ini) merupakan tindakan yang dilakukan sewenang-wenang dan tidak mengindahkan ketentuan  KUHAP maupun Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor  21/PUU- XII/2014 karena melewatkan   proses   yang   diharuskan   dalam   penetapan Tersangka, yakni pemeriksaan terhadap Saksi/Calon Tersangka,” ungkap Ronny.

Kedua, penetapan Hasto sebagai tersangka pada awal tahap penyidikan tidak   melalui   proses   pengumpulan   dua  alat   bukti permulaan  yang  cukup  terlebih  dahulu  dan  melewatkan  tahap penyelidikan. 

Penjelasannya, sesuai putusan MK Nomor  21/PUU-XII/2014, penyidik seharusnya melakukan pengumpulan alat bukti terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka. Sehingga tidak boleh serta merta Penyidik menemukan Tersangka, sebelum  melakukan  pengumpulan  bukti.

“Norma  Pasal  1 angka 2  KUHAP sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi Tersangka oleh Penyidik, yaitu harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti, bukan secara subyektif Penyidik menemukan Tersangka tanpa mengumpulkan bukti,” beber Ronny.

“Dalam perkara ini, TERMOHON (KPK, red) langsung menyatakan kedudukan PEMOHON (Hasto, red) sebagai  Tersangka  sesudah  memberikan  keputusan  akan  menjalankan proses penyidikan sebagaimana Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/722/DIK.00/23/12/2024   tanggal 23  Desember   2024   dan   Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/721/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 atas nama Tersangka HASTO KRISTIYANTO (PEMOHON) dan  tidak  menjalankan  tahap  penyelidikan  terlebih  dahulu.  Penetapan Tersangka  atas  diri  PEMOHON  ini  terkesan  terburu-buru  dengan  tidak menunggu perolehan bukti-bukti dari fase penyidikan, khususnya melalui tindakan penyitaan,” urainya.

Ketiga, penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK tidak jelas karena adanya kontradiksi dan menciptakan ketidakadilan baru serta ketidakpastian hukum.

Penjelasannya. KPK mengeluarkan dua buah SPDP, yakni Nomor B/722/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 dengan sangkaan penyuapan, dan Nomor B/721/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024, dengan sangkaan penghalangan hukum.

“Kedua SPDP ini mengandung kontradiksi dan memuat pernyataan yang tidak masuk di akal dan tidak logis, patut diduga sebagai bentuk kriminalisasi. Bagaimana  mungkin  ketika PEMOHON (Hasto, red) bersama-sama Tersangka  HARUN MASIKU dan kawan-kawan disangka memberi hadiah atau janji kepada WAHYU SETIAWAN, dan  pada  saat  yang  sama   PEMOHON   bersama-sama   melakukan perbuatan pidana merintangi Penyidikan tindak pidana korupsi,” jelas Todung Mulya Lubis yang secara bergantian membacakan poin-poin gugatan Prapradilan.

Selain itu, dijelaskan bahwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri telah menjalani hukuman dan menjadi Terpidana. Maka kedua SPDP itu, juga telah menciptakan ketidakadilan baru dan ketidakpastian hukum terhadap para Terpidana dimaksud.

Keempat, penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK tidak didukung oleh dua alat bukti permulaan yang cukup dalam perkara yang bersangkutan dan justru mengacu pada alat bukti pada perkara lain yang sudah inkracht van gewijsde (putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap). Sehingga, penetapan tersangka tersebut tidak sah dan patut untuk dibatalkan.

“Keputusan TERMOHON (KPK, red) ini mengandung cacat hukum karena secara yuridis alat bukti dalam perkara orang lain tidak boleh dipergunakan untuk membuktikan  perkara yang  lain  lagi dengan menerbitkan Sprindik terbaru  dengan  pola  materi  perkara  yang  sudah  inkracht van  gewijsde,  dalam kurung putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap,” beber Todung.

Kelima,  penerbitan surat perintah penyidikan nomor Sprin.dik/153/dik.00/01/12/2024 tanggal  23  Desember  2024  atas  dasar laporan pengembangan penyidikan LPP-24/dik.02.01/22/12/2024 tanggal 18 Desember 2024,  dan surat  perintah penyidikan  nomor Sprin.dik/152/dik.00/01/12/2024,  tanggal  23  Desember  2024  atas  dasar laporan pengembangan penyidikan LPP.23/dik.02.01/22/12/2024, tanggal 18 Desember 2024 adalah kesalahan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang mengandung potensi nebis in idem.

“Atas dasar apa pengembangan penyidikan dugaan  tindak  pidana  korupsi  ini  dilakukan?  Padahal  perkara  dengan Tersangka Harun Masiku yang memberikan suatu hadiah atau janji kepada Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Agustiani Tio F sudah diputus dan telah berkekuatan  hukum tetap  sebagaimana Putusan  Pengadilan  Tipikor  pada  Pengadilan  Negeri  Jakarta  Pusat  Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.  Jkt.   Pst  tanggal  24  Agustus  2020  Jo.  Putusan Pengadilan  Tipikor  pada  Pengadilan  Tinggi  DKI  Jakarta  Nomor:  37/Pid.Sus- TPK/2020/PT DKI Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021,” demikian bunyi putusan tersebut.

Nah, jikalau perkembangan penyidikan itu merujuk pada putusan a quo, maka jika ditinjau dari hasil pertimbangan dan bunyi putusan tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, tidak ada sama sekali yang  pernah  menyangkut-pautkan  tindak  pidana  yang  terjadi  dengan Hasto, dan tidak ada juga yang menunjukkan keterlibatan Hasto sebagai Pemohon.

“Tidak  terlibatnya  PEMOHON (Hasto, red) juga dibuktikan dari pertimbangan hukum di atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 28/Pid.Sus- TPK/2020/PN.Jkt.Pst, mempertimbangkan bahwa pemberian dana operasional tahap pertama dan kedua kepada Terdakwa Wahyu Setiawan berasal dari Harun Masiku," ungkap Todung.

Penetapan Tersangka atas Hasto oleh KPK ini dilakukan atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji yang perkaranya sudah diputus. Perlu dipersoalkan tentang pemeriksaan kembali atas perkara yang sudah selesai  dan  berkekuatan  hukum  tetap.  Sebab Wahyu  Setiawan  sendiri  sudah selesai menjalani masa pidananya, sedangkan Agustiani Tio F sudah berada di luar  penjara.  

“Apakah pihak-pihak seperti Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio  F yang sudah diadili dan dijatuhkan pidana akan dimintai kembali keterangan-keterangannya sehubungan dengan perkara ini? Pemeriksaan perkara dengan objek yang sama dan materi pokok yang sama dengan perkara yang telah diputus ini tentunya akan berpotensi ne bis in idem yang dilarang dalam hukum  pidana.”

Untuk diketahui, larangan  atas  nebis  in  idem bertujuan melindungi seseorang dari tuntutan dan persidangan ulang atas perkara yang sama terhadap dirinya, menghindari pemeriksaan berulang atas perkara yang dapat menimbulkan putusan yang berbeda/ disparitas dalam penjatuhan putusan, serta dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi setiap orang dalam pemeriksaan perkara pidana;

Keenam, KPK telah  melakukan penyitaan terhadap barang milik pemohon (Hasto, red)  yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melanggar KUHAP. Proses penyitaan oleh KPK terhadap barang milik pemohon tidak sesuai prosedur.

Penjelasannya, hal ini terkait peristiwa 10  Juni  2024, dimana KPK  telah  mengirimkan  surat  panggilan kepada Hasto guna didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana dalam Surat Panggilan: Nomor Spgl/3838/DIK.01.00/23/06/2024, tertanggal 4 Juni 2024. Proses  pemeriksaan  terhadap  Hasto  berlangsung  singkat , tetapi  harus menunggu selama empat  jam. Selesainya pemeriksaan sebagai Saksi, kemudian baru diketahui oleh  Hasto, lamanya menunggu karena ternyata disebabkan stafnya bernama Kusnadi telah diperiksa, digeledah dan barang-barang yang ada padanya telah disita oleh KPK. Padahal Kusnadi saat itu kapasitasnya tidak untuk diperiksa berdasarkan surat panggilan resmi kepada Hasto.

Sementara berdasarkan pasal 112 KUHAP, diatur bahwa dalam memanggil seseorang yang berstatus sebagai saksi/tersangka harus ada surat panggilan resmi yang menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Karenanya, tindakan KPK yang tanpa pemberitahuan dan  surat   resmi  itu, sangat tidak profesional.

“Hal ini jelas telah melanggar Konstitusi asas perlindungan atas Hak Asasi Manusia Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan melanggar ketentuan Pasal 112 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 75 KUHAP.”

Ketujuh, penyitaan oleh KPK terhadap barang milik Hasto mengandung cacat formil dengan menyamar, memakai topi, memanipulasi, merampas dan  memeriksa  tanpa  izin  tidak  sesuai  peraturan  perundang- undangan.

Penjelasannya adalah sebagai berikut. Proses  penggeledahan  dan  penyitaan  yang  dilakukan  oleh KPK sebagai Termohon terhadap barang milik Hasto sebagai pemohon melalui Kusnadi sebagai asisten/staf pada 10 Juni 2024, tanpa melalui proses penegakan hukum yang benar.

Dimana pada saat pemeriksaan diri Hasto  sebagai  Saksi,  Kusnadi sebagai asisten/stafnya, sebelumnya tidak pernah dipanggil dan/atau dimintai  keterangan sebagai Saksi/Tersangka tindak pidana lainnya.

Namun faktanya, pada saat Hasto diperiksa KPK, pada sekitar pukul 10.40 WIB, Kusnadi menunggu di luar halaman gedung KPK sambil duduk sendiri dan merokok, kemudian datang  seseorang dengan menyamar,  memakai baju putih, memakai topi, memakai masker, membohongi  dan  memanipulasi seolah-olah  mengatakan bahwa Kusnadi dipanggil oleh “Bapak”.

Karena biasa memanggil Hasto sebagai “Bapak”, Kusnadi merasa bahwa dirinya memang dipanggil oleh Hasto. Seketika itu ia langsung merespons dengan naik ke lantai 2 gedung KPK RI menggunakan tangga, diantar oleh seseorang berbaju hitam dan memakai masker hitam. Sedangkan yang berbaju putih naik ke lantai dua menggunakan lift.

Kusnadi belakangan baru mengetahui orang yang menyebut bahwa ia seolah dipanggil Hasto, adalah Rossa Purbo Bekti. Faktanya Hasto tidak pernah memanggil Kusnadi. Dan Kusnadi langsung  ditanyakan  dan  dimintakan keterangan di ruang pemeriksaan serta dilakukan penggeledahan dan penyitaan atas barang milik Hasto dan Kusnadi.

Penyitaan ini tidak memiliki dasar hukum karena hanya berlandaskan pada Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti Nomor : STTBB/1284/DIK.00.05/23/06/2024, tanggal 24 April 2024 yang tidak diketahui  STTBB  terhadap  siapa,  Laporan  Kejadian  Tindak  Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-03/KPK/01/2020, tanggal 9 Januari 2020; Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020; Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/07B.2020/DIK.00/01/05/2023, tanggal 5 Mei 2023.

“Termohon  telah  melakukan  perbuatan  melawan  hukum  dan  cacat  formil dalam melakukan Penggeledahan dan Penyitaan sebagaimana syarat-syarat yang dicantumkan dalam KUHAP.”

Pelanggaran formil dalam penyitaan a quo, diantaranya melakukan penyitaan  tanpa  adanya izin penetapan pengadilan; melakukan penyitaan tanpa pemberitahuan dari Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI); melakukan penyitaan terhadap 11 barang  bukti  lainnya yang tidak ada hubungan dengan perkara tanpa izin penetapan pengadilan yang cacat formil tersebut.

Selain itu, Termohon dalam melakukan Penyitaan telah mengakses, menguasai milik Pemohon tanpa hak dan melawan hukum karena tidak berdasarkan prosedur penggeledahan dan penyitaan sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) KUHAP. Termohon tidak boleh menyita sebagai upaya paksa terhadap benda yang seluruh dan sebagian bukan diperoleh  hasil kejahatan atau  dipergunakan langsung untuk kejahatan, dibuat  khusus untuk kejahatan dan mempunyai hubungan langsung dengan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP.

Termohon juga dianggap telah melanggar prosedur formil dengan tidak memberikan alasan yang cukup dasar hukum izin penyitaan dari Pengadilan dan telah menerbitkan Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti kepada PEMOHON tertanggal dengan tanggal bulan yang berbeda.

“Yaitu SURAT Tanda Penerimaan Barang Bukti Nomor STTBB/1284/DIK.00.05/23/06/2024, tanggal 24 April 2024, dilakukan Berita Acara Penggeledahan Badan/Orang tanggal 10 Juni 2024, dan Berita Acara  Penyitaan oleh TERMOHON tanggal  10 Juni 2024 secara  melawan hukum dan cacat formil telah melanggar ketentuan dalam UU 19/2019 tentang Perubahan  Kedua Atas  UU 30/2002 tentang  Komisi  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019,  tanggal 4  Mei  2021.”

Kedelapan, barang bukti yang disita oleh Termohon tidak mempunyai hubungan langsung dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan Hasto sebagai Pemohon.

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan PDI Perjuangan Tetap Kokoh

Penjelasannya, barang-barang  yang disita dari Hasto dan Kusnadi tidak mempunyai  hubungan  langsung  dengan  dugaan  tindak  pidana  yang dilakukan. Maka penyitaan telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP.

Sesuai pasal itu, yang dapat dikenakan penyitaan adalah Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana; Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Faktanya barang-barang milik PEMOHON (Hasto, red) dan asisten/staf PEMOHON (Kusnadi, red) tidak berkaitan dengan perkara pidana dan/atau berhubungan langsung dengan perkara a quo sehingga tidak dapat dilakukan penyitaan.

Selain itu, tindakan  penyitaan terhadap  barang  milik  Hasto dilakukan secara sewenang-wenang dengan berbagai cara-cara menyamar, memakai baju putih, memakai topi, memakai masker, membohongi dan  memanipulasi Kusnadi, merupakan bentuk kesewenang-wenangan.

“Terhadap barang milik PEMOHON (Hasto, red) tersebut pada saat ini telah dijadikan alat bukti oleh TERMOHON (KPK, red) untuk menjerat PEMOHON sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah   Penyidikan   Nomor   Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024,   tanggal   23 Desember 2024 adalah tidak sah dan mengikat secara hukum.”

Berikut barang-barang yang disita termaksud:

1) 1 (satu) Handphone Merk Vivo 1713, IMEI1 : 865228031527352,  Kapasitas : 64 GB, yang didalamnya terdapat SIMCard : XL dengan kode : 8962119763, beserta dokumen elektronik di dalamnya. 
Pemilik : HASTO KRISTIYANTO; 

2) 1 (satu) Iphone 11, Model : MHDH3PA/A, S/N : FFWM51RN73D, Kapasitas 128 GB. yang di dalamnya terdapat SIMCard Tri, kode : 89442 00201 98108 2095. beserta dokumen elektronik di dalamnya. 
Pemilik : KUSNADI; 

3) 1 (satu) Iphone 15, Model: MTP63PA/A, SN: D7C02N3F6C,  kapasitas : 256 GB. yang di dalamnya terdapat SIMCARD Tri, kode: 8944200202 52200 3525, beserta dokumen elektronik di dalamnya. 
Pemilik: Hasto Kristiyanto; 

4) 1 (satu) buku warna hitam bertuliskan KompasTV #Teman Terpercaya; 

5)1 (satu) buku warna hitam bertuliskan ERICA, E-156, 

6)1 (satu) notebook warna merah putih bertuliskan PDI Perjuangan; 

7)1 (satu) lembar kwitansi Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, banyaknya uang : dua ratus juta Rupiah, total Rp. 200.000.000,- untuk pembayaran operasional Pak Suryo AB, Tanggal 23 November 2023;
 
8)1 (satu) Buku Tabungan BRI Simpedes, No. Rekening 0230-01- 001853-53- 8, Nama: Kusnadi, Tanggal: 1 September 2020, No. Seri: 11942038; 

9) 1 (satu) Kartu Eksekutif Menteng, Apartemen; 

10) 1 (satu) Dompet Kartu Warna Hitam berisi : 
a. 1 (satu) Buah Kartu Livelt Paris, Made In Italy. 
b. 1 (satu) Kartu ATM Mandiri Debit Platinum, Nomor Kartu: 4617003757226015, Valid Thru 02/26. 
c. 1 (satu) Kartu ATM BCA Paspor Blue Debit, Nomor Kartu: 537941209265, Valid Thru 03/27. 

11) 1 (satu) Voice Recorder Merk Sony, ICD-TX660, kode: 1032917. Beserta Data Elektronik Di Dalamnya Milik Kusnadi.

Quote