Ikuti Kami

Jaksa Tunda Periksa Caleg, Capres dan Calon Kepala Daerah hingga Pemilu Selesai, Prof. Henry Yoso: Menyesatkan!

Alasan itu sangat dangkal dan sama sekali tidak memiliki landasan berpijak yang dapat dipertanggungjawabkan dihadapan hukum.

Jaksa Tunda Periksa Caleg, Capres dan Calon Kepala Daerah hingga Pemilu Selesai, Prof. Henry Yoso: Menyesatkan!
Politisi PDI Perjuangan yang juga Advokat senior Prof. Dr. Henry Yosodiningrat, SH, MH.

Jakarta, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan yang juga Advokat senior Prof. Dr. Henry Yosodiningrat, SH, MH., menyatakan Jaksa Agung telah mencampur adukkan Politik dengan hukum hanya dengan alasan dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi.

Baca Jangan Sembarang Bicara!, Nikolaus Beni: PILHI Harus Tahu Sejarah Kehadiran KPK

"Alasan itu sangat dangkal dan sama sekali tidak memiliki landasan berpijak yang dapat dipertanggungjawabkan dihadapan hukum apalagi dihadapan masyarakat pemilih yang menginginkan pemimpin yang nantinya terpilih adalah pemimpin yang bersih dari praktik korupsi”.

Jaksa Agung hendaknya terlebih dahulu mendalami apa yang dimaksud dengan kriminalisasi (menurut Dr. Yenti Ganarsih), “bahwa kriminalisasi mengandung makna adalah upaya atau proses yang dilakukan oleh negara melalui mekanisme yang ada, yaitu Pemerintah dan DPR menggodok (membahas) suatu perbuatan yang tadinya bukan tindak pidana, menjadi perbuatan yang dapat di pidana yaitu dengan diundangkan”. 

Dengan demikian maka yang dikriminalisasi itu adalah suatu “perbuatan” bukan orang.

Kebijakan Jaksa Agung menunda proses penegakan hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh calon pemimpin negeri ini hingga usai Pemilu 2024, tidak ubahnya dengan memberikan peluang kepada para “koruptor” yang mencalonkan diri menjadi pemimpin mulai dari kepala daerah, calon legislatif bahkan hingga calon presiden atau calon wakil presiden.

“Dalam sistem hukum kita, tidak dikenal adanya penundaan terhadap suatu penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana (tanpa kecuali), hal tersebut sejalan dengan asas hukum equality before the law,” ujar Prof. Henry.

Kekhawatiran Jaksa Agung akan adanya “black campaign” yang dapat menjadi hambatan terciptanya pemilu, adalah kekhawatiran yang sama sekali tidak ada dasar hukumnya karena bukankah terhadap suatu laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh seseorang (tanpa kecuali) apakah ia calon legislatif, calon kepala daerah bahkan calon presiden dan calon wakil presiden sekalipun, diawali dengan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana korupsi guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.

Kemudian penyidik tidak serta merta menetapkan seseorang sebagai tersangka, melainkan harus dilakukan gelar perkara terlebih dahulu untuk memastikan apakah seseorang itu yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Baca Di Hadapan Seniman, Basarah Sebut Ganjar Capres Universal dan Miliki Keluarga Sempurna

Demikian sebaliknya, terhadap seorang calon legislatif, atau calon kepala daerah bahkan calon presiden atau calon wakil presiden yang nyata-nyata memiliki kekayaan “yang berlimpah” yang tidak sesuai dengan pendapatannya selama ini, karena kebijakan Jaksa Agung itu maka ia lolos dan menduduki jabatan baik sebagai anggota legislatif, atau kepala daerah atau presiden atau wakil presiden.

“Apakah laporan terhadap mereka baru akan dilakukan proses penegakan hukumnya setelah pemilu 2024 usai (Pemilu yang menelan biaya 76 Triliun), atau Jaksa Agung akan mengeluarkan kebijakan berdasarkan kewenangannya untuk tidak akan menuntut para “koruptor” yang telah menduduki jabatannya??” tanya Prof. Henry.

Quote