Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI, I Ketut Kariyasa mendorong agar Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan segera disahkan sebagai solusi mengatasi kelangkaan dokter spesialis ini. Meski tidak semua daerah mengalami kekurangan dokter spesialis.
Di daerah Jawa dan Bali, dokter spesialis justru mengalami kelebihan.
“Rasio tenaga dokter dan dokter spesialis itu kan 1 banding 1.000 standarnya. Makanya di Jawa dan Bali ini sudah terpenuhi,” kata Ketut, kemarin.
Baca: Kariyasa Dorong Penggunaan Metode Wolbachia Untuk Atasi DBD
Problem yang ada saat ini, lanjutnya, di daerah-daerah terpencil dan di beberapa daerah tertentu justru mengalami kekurangan. Ini pula yang menjadi masalah bagi masyarakat di daerah yang acapkali kesulitan ketika berobat pada dokter spesialis tertentu.
Sedangkan menjadi dokter spesialis ini ternyata sangat sulit. Birokrasi yang begitu ruwet dan aturan dalam undang-undang menghambat lahirnya lebih banyak lagi dokter spesialis.
“Regulasi dulu yang harus diperbaiki, karena di beberapa aturan itu ada yang menghambat. Seperti Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dan Undang-Undang Praktik kedokteran,” katanya.
Dia mendapati, koordinasi antar kelembagaan baik antara Pemerintah dan lembaga profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kurang baik dalam mengatasi masalah ini.
“Dengan Nikaragua saja kita masih kalah jauh. Nikaragua ini telah menghasilkan banyak tenaga medis spesialis,” ujarnya.
Untuk itu, dia mendorong agar ada kebijakan yang mempermudah penciptaan dokter spesialis ini. Tapi tentu saja harus sesuai dengan standar yang dibutuhkan. Sebagai contoh, dokter spesialis dalam program penanganan stunting.
Dijelaskan politisi PDI Perjuangan ini, Pemerintah telah menganggarkan pengadaan Ultrasonografi (USG) di setiap Puskesmas untuk mendukung program penanganan stunting ini. Tentunya, jika ingin program ini berhasil, maka keberadaan dokter spesialis di setiap puskesmas sangat dibutuhkan terutama di daerah yang kekurangan dan terpencil.
Sayangnya, saat ini masih ada kebijakan moratorium yang tidak membolehkan perguruan tinggi untuk mendirikan fakultas kedokteran.
Baca: Dion Tegaskan Komitmen Atasi Stunting di Kabupaten Purworejo
“Dokter-dokter spesialis justru enggan ditugaskan di daerah terpencil, sehingga terjadi penumpukan di tempat-tempat tertentu. Ya mungkin karena pasiennya banyak,” jelasnya.
Makanya, dia berharap Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan ini dapat menjadi solusi mengatasi kelangkaan tenaga dokter spesialis di tempat-tempat tertentu ini. Setelah RUU ini disahkan, bisa mempercepat proses pendikan terutama tenaga dokter spesialis. Kemudian tidak ada lagi lembaga superbody yang justru menghambat lahirnya tenaga dokter spesialis.
Tentunya juga dibutuhkan kesepakatan antara Pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan atau memberikan beasiswa dalam menempuh pendidikan dokter spesialis.
“Lebih bagus lagi kalau ada kerja sama dengan negara lain. Seperti Australia yang pendidikan kedokterannya sudah cukup mampu menghasilkan dokter spesialis,” harapnya.