Surabaya, Gesuri.id - Doktor Ilmu Pertahanan yang juga Sekjen PDI Perjuangan Dr.Hasto Kristiyanto menyampaikan sejumlah usulan kepada negara-negara Asia-Afrika dan Amerika Latin untuk memaksimalkan momentum kebangkitan Asia, dan masa depan dunia yang kini berada di Asia.
Baca: G20 Sebaiknya Teruskan Semangat Dasasila Bandung & Soekarno
Pandangan Hasto itu berbasis pada semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Gerakan Non Blok (GNB), serta teori geopolitik Soekarno. Dalam paparannya dalam sesi di Konferensi “Bandung-Belgrade-Havana in Global History and Perspective”, di Surabaya, Jumat (11/11/2022), Hasto memaparkan teori yang ditemukannya dan menjadi karya disertasinya di Universitas Pertahanan (Unhan).
Berangkat dari situ, Hasto mengatakan dirinya menyarankan sejumlah hal. Pertama, Hasto mengatakan harus dipastikan adanya stabilitas politik Asia dan prinsip hidup berdampingan secara damai diwujudkan. “Serta tekad untuk membangun persaudaraan dunia tanpa perang harus dibangun ke dalam budaya Asia yang menjadi dasar filosofi penyelenggaraan negara,” kata Hasto.
Kedua, dalam upaya ini, semua diplomasi luar negeri, pertahanan, perdagangan, dan diplomasi budaya, diarahkan untuk lebih mewujudkan karya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap kesetaraan setiap negara dalam institusi dunia, serta untuk membangun solidaritas antar bangsa.
Ketiga, melihat tantangan-tantangan yang ada, dunia yang dipelopori oleh Asia harus mencari solusi pangan dan energi.
“Di sinilah Asia harus bersatu dan merangkul kekuatan Afrika dan Amerika Latin serta negara-negara cinta damai, untuk mengatasi krisis pangan, energi, dan ekonomi dunia,” ujarnya.
Keempat, pentingnya memprioritaskan negosiasi untuk pengurangan belanja militer, pencegahan senjata pemusnah massal. Ini harus selalu dikampanyekan. Di sisi lain, penguatan PBB untuk mendorong reformasi sistem keamanan dan ekonomi dunia harus ditempatkan sebagai agenda utama serta memperkuat kewenangan PBB.
“Dan ini untuk mencegah konflik di seluruh belahan dunia. Berdasarkan agenda tersebut, pemikiran Soekarno untuk mereformasi PBB realistis untuk dimunculkan kembali,” tegasnya.
Selanjutnya, dalam hal geopolitik, geostrategi dan geoekonomi, harus ada pengakuan bahwa setiap negara adalah unik. Keunikan ini karena perbedaan sumber daya alam, kemampuan teknologi dan ekonomi, akses pasar, dan sumber daya permodalan yang dapat menjadi modal dasar bagi suatu kerjasama.
“Selain itu, kerja sama harus diperkuat untuk mempromosikan isu ekologi dan mengurangi semua dampak pemanasan global,” imbuh Hasto.
Keenam, lanjut Hasto, setiap bangsa diminta untuk memajukan kerjasama pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan pada kemanusiaan, termasuk pentingnya alih teknologi dalam rangka memperjuangkan taraf hidup umat manusia.
“Struktur keuangan dunia perlu dipikirkan kembali. Apa yang diprakarsai oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan melalui pendirian New Development Bank. Usulan ini sangat menarik untuk mengatasi berbagai wajah “kolonisasi baru” yang muncul akibat dominasi modal yang tidak adil, serta kolonialisme data,” urai Hasto.
Yang jelas, lanjut Hasto, seluruh gagasan di atas membutuhkan kehadiran seorang pemimpin negarawan yang memiliki visi membangun dunia baru, dan memiliki karakter untuk mempromosikan kolaborasi, kerjasama antar bangsa, dan keyakinan bahwa manusia adalah penghuni planet yang sama.
“Atas dasar itu, dengan cerahnya masa depan dunia di Asia, hal ini menjadi tantangan agar Asia tidak melakukan disrupsi dengan cara yang sama,” kata Hasto.
“Asia bersama Afrika dan Amerika Latin dalam semangat Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Nonblok, serta Konferensi Tri-Kontinental harus bersatu untuk mengubah dunia, mengedepankan wajah kemanusiaan, kerjasama ekonomi yang adil, dan berbagi kemakmuran. Pada akhirnya, pelestarian bumi, keselamatan alam semesta, harus diperjuangkan bersama karena kita hidup di planet yang sama,” pungkas Hasto.
Anggota delegasi Brasil, Beatriz Bissio, mengatakan dirinya akan menularkan semangat baru kebangkitan GNB ke negaranya, dan kawasan Amerika Selatan lainnya. “Membawa pesan bahwa kita harus berjuang untuk masa depan. KIta harus yakin dengan kekuatan sendiri dan kita dapat memulai jalur konkrit untuk memajukan diri kita,” kata Beatriz.
Menurutnya, selama ini sudah ada pergerakan sosial, pergerakan perempuan, dan pergerakan lainnya dari bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun selama ini gerakan itu belum sepenuhnya didengar.
“Jadi dengan semangat baru ini, dengan legacy (KAA) Bandung dan Gerakan Non Blok, kita punya alat untuk mengubah dunia,” tegas Beatriz.
Sementara Darwis Khudori, penggagas acara dan menjadi salah satu peserta, mengatakan satu hal yang kini menjadi tantangan bagi bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin, adalah menemukan kepemimpinan baru yang bisa menggerakkan solidaritas. Dahulu, di generasi pertama pimpinan negara Asia, Afrika, Latin, ada sosok seperti Soekarno, Nehru, hingga Fidel Castro. Mereka bisa menggerakkan solidaritas itu.
Namun makin ke sini, pemimpin generasi kedua dan ketiga, ternyata kerap dianggap kurang bisa mengangkat kembali semangat solidaritas bangsa-bangsa Asia, Afrika, Latin, dan yang trrgabung dalam GNB.
“Maka menjadi tantangan ke depan bagaimana ada sosok pemimpin yang bisa menggaungkan kembali solidaritas itu,” tegas Darwis.
Baca: Sekjen Hasto Minta Kader Disiplin dalam Keyakinan Ideologis
Acara Bandung-Belgrade-Havana in Global History and Perspective merupakan napak tilas KAA 1955. Pemhukaan dilakukan di Jakarta pada beberapa hari lalu. Setelahnya, peserta berangkat di Bandung, bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad), membahas langkah-langkah berbasis semangat Konferensi Asia Afrika 1955. Setelah itu rombongan ke Surabaya, dan selanjutnya akan ke Bali.
Para peneliti yang diajak dalam program ini antara lain ialah Annamaria Artner (Hungaria), Connie Rahakundini Bakrie (Indonesia), Isaac Bazie (Burkina Faso/Canada), Beatriz Bissio (Brasil/Uruguay), Marzia Casolari (Italia), Gracjan Cimek (Poland), Bruno Drweski (Prancis/Polandia), Hilman Farid (Indonesia), Darwis Khudori (Indonesia/Prancis), Seema Mehra Parihar (India), Jean-Jacques Ngor Sene (Senegal/USA), Istvan Tarrosy (Hungaria), Rityusha Mani Tiwary (India), Nisar Ul Haq (India).