Jakarta, Gesuri.id - Seorang Indonesianis Maxwell Ronald Lane mengajak PDI Perjuangan yang telah menjadikan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno, juga menciptakan bulan Juli sebagai Bulan Perjuangan.
Hal ini mengacu kepada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 di kantor Partai Demokrasi Indonesia tau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Kudatuli dengan tema: 'Persepektif Hukum, ‘Kudatuli: Arus Bawah vs Hukum Alat Kekuasaan". Hadir juga sebagai pembicara aktivis HAM Usmand Hamid dan Bivitri Susanti.
Turut hadir dalam diskusi tersebut Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ditektur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid, Komnas HAM Saurlin P. Siagian, Indonesianis Max Lane dan Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI Perjuangan Bonnie Triyana. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Prof. Dr. (HC) Megawati Soekarnoputri pun turut mengikuti acara tersebut melalui daring.
“Sebenarnya buat saya, bulan Juni itu Bulan Bung Karno, Bulan Juli seharusnya diangkat sebagai Bulan Perjuangan,” kata Maxwell yang hadir secara daring, Sabtu (20/7.
Menurut dia, Kudatuli bukan hanya perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang membuat kantor PDI waktu itu diserang dan menyebabkan banyak orang tewas. Tapi juga kehadiran mimbar bebasnya.
“Buat saya mimbar bebasnya di jalankan masyarakat memperjuangkan hak anggota PDI Perjuangan. Hak apa? hak untuk menjadikan pimpinannya sendiri. Masa ada partai anggotanya berkongres memilih pemimpinnya tapi pemerintah yang menunjuk. Mereka membela, saya ada di mimbar bebas membela hak untuk memilih pimpinan sendiri,” tutur Maxwell.
Dia pun menuturkan, ada kesan PDI saat itu melalui mimbar bebasnya, seperti oposisi melawan pemerintahan Orde Baru. Meski demikian, Maxwell menyebut oposisi itu bukanlah sebuah cita-cita, tapi bentuk lantaran ada ketidakadilan.
“Memang pada saat itu, PDI Perjuangan atau PDI waktu itu dan mimbar bebasnya itu beroposisi. Oposisi itu bukan hal yang kita cita-citakan, ‘oh kita ingin ada oposisi, kita ingin oposisi’. Kalau kita mau lihat di Australia, Amerika, Eropa, India, Filipina tidak ada kelompok yang berdiri bilang, ‘ayo kita menciptakan oposisi,’ tidak.,” tutur Maxwell.
“Oposisi muncul karena mau memperjuangkan sesuatu yang butuh pelawanan. Buat saya itu sifat utama kalau kita lihat bulan Juli 27 itu dengan mimbar bebasnya. Berniat melawan untuk merebut haknya, itu semangatnya,” ungkap dia.
Maxwell pun mengungkapkan, semangat perlawanan itu dirasakannya sampai Australia, bagaimana membaca koran setiap hari dan melihat apa yang terjadi di Indonesia.
Dari Kudatuli juga, lanjut dia, melalui mimbar bebas semua pihak bersatu dan itulah bentuk koalisi sebenarnya.
“Bukan koalisi yang dibangun untuk kalkulasi bagi jabatan, bukan koalisi yang dibangun untuk bagi kekuasaan, tapi koalisi yang dibangun untuk memperkuat perlawanan untuk merebut hak, berani melawan. Dan berkoalisi saya kira itu sebuah esensi daripada segala usaha untuk menyelamatkan demokrasi di saat-saat demokrasi terancam,” jelas Maxwell.
Dia mengutarakan, dari mimbar bebas itulah diperlihatkan bagaimana menjadi warga negara yang baik. Karena berani memperjuangkan hak-haknya.
“Saya masih ingat sekali di salah satu sebuah surat kabar, bagaimana di halaman depannya itu, ribuan atau puluhan ribu massa kumpul di depan Pengadilan Negeri Jakarta, saya kira yang di Jalan Hayam Wuruk, waktu ada PDIP ke pengadilan untuk mempermasalahkan tindakan hukum yang digunakan oleh kekuasaan waktu itu. Itu gambaran yang betul-betul menggairahkan kita semua melihat perjuangan seperti itu,” ungkap Maxwell.
Dari situ, lanjut dia, hukum memang bisa menjadi alat kekuasaan. Tapi bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, hal itu terjadi. Sehingga, bagaimana untuk mengakhirinya adalah ada sikap yang senantiasa membela hal ini.
“Sejauh mana sudah rakyat Marhaen ini dengan ideologinya sanggup membentuk kekuatan untuk mengimbangi kekuasaan atau kalau bisa secara bedamai, kalau ada kekuasaan yang kotor tidak mau berubah, mengganti yang berkuasa itu,” ungkap Maxwell.
“Dan itu saya kira mengapa Juli 27 bukan hanya diangkat dan diselesaikan masalah pelanggaran HAM-nya, tapi juga dimasukkan ke dalam ingatan sejarah rakyat Indonesia sebagai salah satu bulan Perjuangan cukup herois dari masa yang melawan kekuasaan otoriter,” pungkasnya.