Jakarta, Gesuri.id - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menghapus usulan RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing masuk ke dalam Prolegnas jangka panjang 2025-2029.
Baleg menilai RUU yang diusulkan NGO Yayasan Jaan Domestic Indonesia itu tidak masuk akal. Baleg beralasan bahwa Indonesia penuh dengan keanekaragaman serta kebhinekaan, dan ada daerah tertentu yang mengkonsumsi daging anjing. Usulan RUU yang dianggap kontroversial itu justru hanya memperpanjang deret RUU yang masuk ke dalam Prolegnas jangka panjang.
Menanggapi hal tersebut, aktivis, pecinta hewan dan anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth mengaku aneh dengan putusan Baleg yang menghapus RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing.
"Saya selaku pecinta hewan merasa aneh, dan menentang keras dengan putusan Baleg DPR RI yang menghapus RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing. Saya hanya mempertanyakan ada apa? lucu saja, kok bisa dihapus," kata Kenneth dalam keterangan, Kamis (21/11/2024), dikutip dari news.detik.com.
Pria yang akrab disapa Bang Kent menegaskan, jika ingin Indonesia menjadi negara yang maju, peraturan-peraturan tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing harus sudah ada. Seperti di Indonesia, sudah tercatat dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (yang diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 2014). Dan juga KUHP Pasal 302: Mengatur hukuman bagi orang yang dengan sengaja menyiksa atau membiarkan hewan menderita.
"Kekerasan terhadap anjing dan kucing merupakan perbuatan tidak hanya kejam, tetapi juga melanggar hukum di banyak negara, di mana sudah ada undang-undang yang melindungi hewan dari penganiayaan. Tapi sayangnya masih banyak eksplotasi hingga pembunuhan terhadap anjing dan kucing untuk keuntungan pribadi, seperti perdagangan daging anjing atau kucing yang masih terjadi di beberapa wilayah," ujar Kent.
Kent mengatakan, di dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 adalah peraturan yang mengatur tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan peternakan dan kesehatan hewan demi kesejahteraan masyarakat, keamanan pangan, dan perlindungan terhadap hewan.
"Dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 mengatur tentang peternakan, kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, dan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Lalu tentang Kesejahteraan Hewan, memberikan perlindungan terhadap hewan dari penganiayaan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Meskipun fokus pada hewan ternak, UU ini juga memberikan perlindungan terhadap hewan non-ternak, termasuk hewan peliharaan seperti anjing dan kucing," tutur Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent pun berprinsip jika hewan peliharaan itu dipelihara bukan untuk di konsumsi, dan jika hewan ternak itu sudah sangat jelas diperuntukannya.
"Jadi meski bukan hewan dilindungi, anjing bukanlah hewan yang layak dikonsumsi. Konsumsi daging anjing dapat menyebarkan penyakit zoonosis seperti rabies, antraks, dan parasit lainnya. Dan daging anjing yang dijual sering tidak melalui pemeriksaan kesehatan hewan. Kita harus bisa memastikan bahwa anjing diperlakukan sebagai hewan peliharaan, bukan hewan konsumsi." tegasnya.
Pria yang juga Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan itu akan berjuang terus supaya Pemerintah Jakarta dapat menerbitkan peraturan pelarangan konsumsi daging anjing berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Selain itu, Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 menegaskan bahwa daging anjing bukan merupakan pangan.
"Saat ini Jakarta belum memiliki Perda khusus yang secara eksplisit melarang konsumsi daging anjing. Tapi saya akan desak melalui pembahasan Raperda. Langkah ini diharapkan bisa menjadikan Jakarta sebagai wilayah ke-21 di Indonesia yang melarang konsumsi daging anjing, mengikuti beberapa daerah lain seperti Sukoharjo, Karanganyar, dan Salatiga," beber Kepala BAGUNA (Badan Penanggulangan Bencana) PDI Perjuangan DKI Jakarta itu.
Oleh karena itu, Kent meminta kepada aktivis dan pecinta hewan harus lebih kritis dan kompak jika dibandingkan dengan Non Governmental Organization (NGO) asing yang selalu mencoba mencari panggung di tanah air.
"Kedepannya saya meminta aktivis hewan lokal harus lebih kritis dan kompak, supaya NGO-NGO asing tidak punya ruang di negara kita. Saya heran terkait eksistensi NGO asing ini di Negara Kita ini, Sebenaranya mereka ada agenda terselubung apa? Seharusnya kedepannnya aktivis lokal harus lebih kompak bersuara dan kritis, hilangkanlah segala ego sektoral," tegas Kent.
Namun, sambung Kent, dalam kasus ini diperlukan juga sinergitas dari masyarakat untuk turut sadar bahwa konsumsi daging anjing berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya masyarakat bisa mulai sadar bahwa mitos terkait manfaat kesehatan dari mengkonsumsi daging anjing tidak benar adanya.
"Masyarakat perlu mendapatkan edukasi untuk mematahkan mitos bahwa daging anjing bukan hanya tidak layak dikonsumsi manusia, melainkan juga beresiko membawa penyakit 'Stop Konsumsi Daging Anjing!'. Ini harus dilakukan agar Kota Jakarta lebih maju 'Jakarta Bebas Rabies' dan masyarakatnya beradab karena tidak memakan daging hewan peliharaan," pungkasnya.
Diketahui, dalam RUU tentang Larangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, ada sejumlah pasal yang diusulkan dihapus, yakni pasal yang secara eksplisit melarang pengadaan, perdagangan, dan penyembelihan anjing serta kucing untuk konsumsi manusia. Penolakan larangan ini mengabaikan sejumlah pertimbangan penting, terutama risiko zoonosis yang tinggi dan kontribusi dalam penyebaran rabies - penyakit yang tetap menjadi endemik di 26 provinsi Indonesia.
Keputusan untuk tidak mendukung larangan perdagangan ini menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan hukum yang ada, dan mengesankan adanya pengabaian terhadap upaya global untuk memberantas rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030.
Inkonsistensi penerapan hukum itu misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 2023 ada aturan yang mengatur tentang tindakan penganiayaan terhadap hewan. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk melawan praktik-praktik kejam yang terlibat dalam perdagangan daging anjing dan kucing.
Selain itu, aturan lainnya berasal dari Kementerian Pertanian telah mengeluarkan imbauan untuk melarang perdagangan daging anjing dan kucing. Imbauan ini sejalan dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh 76 kota dan kabupaten serta lima peraturan daerah yang menerapkan pasal terkait larangan tersebut. Ini menunjukkan dukungan lokal yang kuat untuk kebijakan yang proaktif.
Sumber: news.detik.com