Jakarta, Gesuri.id - Gugatan Praperadilan yang diajukan Hasto Kristiyanto atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).
Ada setidaknya 8 poin utama yang disampaikan Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto tentang tidak sahnya penetapan status tersangka oleh KPK.
Poin-poin itu diungkap oleh Tim Kuasa Hukum Hasto, dengan dibacakan secara bergantian oleh antara lain Ronny Talapessy, Todung Mulya Lubis, dan Maqdir Ismail di depan majelis hakim, di PN Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2024).
Dua diantaranya mempertanyakan ketiadaan bukti kuat yang dipunyai KPK sebelum menyatakan Hasto sebagai tersangka.
Baca: Ganjar Pranowo Berkomitmen Hadirkan Pemerataan Pembangunan
Seperti disampaikan oleh Kuasa Hukum, penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK tidak didukung oleh dua alat bukti permulaan yang cukup dalam perkara yang bersangkutan dan justru mengacu pada alat bukti pada perkara lain yang sudah inkracht van gewijsde (putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap). Sehingga, penetapan tersangka tersebut tidak sah dan patut untuk dibatalkan.
“Keputusan TERMOHON (KPK, red) ini mengandung cacat hukum karena secara yuridis alat bukti dalam perkara orang lain tidak boleh dipergunakan untuk membuktikan perkara yang lain lagi dengan menerbitkan Sprindik terbaru dengan pola materi perkara yang sudah inkracht van gewijsde, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap,” beber Todung.
Selanjutnya, penerbitan surat perintah penyidikan nomor Sprin.dik/153/dik.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 atas dasar laporan pengembangan penyidikan LPP-24/dik.02.01/22/12/2024 tanggal 18 Desember 2024, dan surat perintah penyidikan nomor Sprin.dik/152/dik.00/01/12/2024, tanggal 23 Desember 2024 atas dasar laporan pengembangan penyidikan LPP.23/dik.02.01/22/12/2024, tanggal 18 Desember 2024; adalah kesalahan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang mengandung potensi ne bis in idem.
“Atas dasar apa pengembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi ini dilakukan? Padahal perkara dengan Tersangka Harun Masiku yang memberikan suatu hadiah atau janji kepada Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Agustiani Tio F sudah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 24 Agustus 2020 Jo. Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus- TPK/2020/PT DKI Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021,” demikian ungkap Kuasa Hukum.
Nah, jikalau perkembangan penyidikan itu merujuk pada putusan a quo, maka jika ditinjau dari hasil pertimbangan dan bunyi putusan tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, tidak ada sama sekali yang pernah menyangkutpautkan tindak pidana yang terjadi dengan Hasto, dan tidak ada juga yang menunjukkan keterlibatan Hasto sebagai Pemohon.
“Tidak terlibatnya PEMOHON (Hasto, red) juga dibuktikan dari pertimbangan hukum di atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 28/Pid.Sus- TPK/2020/PN.Jkt.Pst, mempertimbangkan bahwa pemberian dana operasional tahap pertama dan kedua kepada Terdakwa Wahyu Setiawan berasal dari Harun Masiku," ungkap Todung.
Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional
Penetapan Tersangka atas Hasto oleh KPK ini dilakukan atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji yang perkaranya sudah diputus. Perlu dipersoalkan tentang pemeriksaan kembali atas perkara yang sudah selesai dan berkekuatan hukum tetap. Sebab Wahyu Setiawan sendiri sudah selesai menjalani masa pidananya, sedangkan Agustiani Tio F sudah berada di luar penjara.
“Apakah pihak-pihak seperti Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio F yang sudah diadili dan dijatuhkan pidana akan dimintai kembali keterangan-keterangannya sehubungan dengan perkara ini? Pemeriksaan perkara dengan objek yang sama dan materi pokok yang sama dengan perkara yang telah diputus ini tentunya akan berpotensi nebis in idem yang dilarang dalam hukum pidana.”
Untuk diketahui, larangan atas ne bis in idem bertujuan melindungi seseorang dari tuntutan dan persidangan ulang atas perkara yang sama terhadap dirinya, menghindari pemeriksaan berulang atas perkara yang dapat menimbulkan putusan yang berbeda/ disparitas dalam penjatuhan putusan, serta dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi setiap orang dalam pemeriksaan perkara pidana.