Jakarta, Gesuri.id - Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma memandang pemanggilan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto bersama stafnya Kusnadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak berkaitan dengan konteks hukum, melainkan lebih kental aroma politisasi. Dia juga mempertanyakan perlakuan penyidik Rossa Purbo Bekti, yang dinilai melanggar aturan hukum.
Hal ini disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Tata Cara Hukum & Model Kerja Aparat Penegak Hukum Pada Kasus Politik di The Tribrata, Dharmawangsa, Jakarta, Jumat (28/6).
“Saya melihat bahwa proses pemeriksaan ini bukan konteks hukum. Kenapa? Satu, banyaknya keteledoran dalam administrasi pemanggilan. Kusnadi itu itu bukan dipanggil secara patut dan sah, tidak,” urai Alfons, yang juga Kuasa Hukum Kusnadi.
“Kemudian setelah itu, kalau dikatakan ini dengan strategi penyidikan, Kusnadi itu dipanggil dengan orang dengan masker, kemudian pakai topi, yang seolah-olah menyembunyikan dirinya. Ini ada satu pertanyaan juga. Kemudian diketahui bahwa itu Rossa Purbo Bekti,” kata Alvon.
Alfons menuturkan, jika memang pemeriksaan terhadap kliennya sebagai strategi penyidikan, seharusnya dilakukan dengan cara baik-baik.
“Kenapa tidak menggunakan cara yang baik? Secara kewajiban warga negara dipenuhi ketika dia (Kusnadi) dipanggil. Waktu itu mengaku pernah melihat bukan bertemu. Kemudian tidak dilakukan secara sah, tidak ada BAP-nya,” ungkap Alvon.
Dia juga menjelaskan, penggeledahan di dalam Undang-Undang KPK itu tidak dikenal. Menurutnya, semua harus mengacu kepada KUHAP.
“KUHAP itu penggeledahan badan, rumah, pakaian. Kalau misalnya Undang-Undang KPK enggak, penggeledahan saja. Hukum pidana di Indonesia tidak mengenal analogi. Apakah memang Undang-Undang KPK bisa menganalogikan KUHAP? Enggak,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Alvon, pihaknya banyak melihat keanehan lain yang semakin memperlihatkan bahwa ini bukan dimensi hukum, tapi suatu proses dimensi politik.
“Makanya ini harus clear. Kalau misalnya berdimensi politik, pertanyaannya itu kan untuk kepentingan siapa? Kalau misalnya Pilkada, berarti ada kekuatan-kekuatan partai politik yang lain. Nah partai politik mana yang bermain?,” tukas Alfons.
“Kalau misalnya (tindakan terrhadap Hasto dan Kusnadi, red) terkait dengan kritik-kritik, siapa yang dikritik Hasto Kristiyanto ketika itu? Ini harus dilihat gitu. Dan kemudian misalnya karena residu pilpres, berarti antara siapa dengan siapa? Gampang saja, ini yang mana ini? Sehingga itu direspon oleh aparat hukum yang sebenarnya tidak mempunyai peran untuk melakukan tindakan-tindakan hukum,” tambah dia.
Alvon pun menyebut bahwa masalah ini bisa masuk ke kategori kasus pidana yang dipaksakan.
“Ini sebenarnya bisa dikategorikan menjadi suatu pidana yang dipaksakan,” jelas dia.
Alvon pun menjelaskan, jika hukum untuk membela hak asasi manusia guna mencari keadilan disebut interest of justice.
“Tetapi ketika kekuasaan dipergunakan untuk pidana keadilan, itu dinamakan sebagai obstruction of justice. Ini yang terjadi pada saat ini. Ketika penggunaan kekuasaan, atau apapun hukum oleh kekuasaan, itu yang dinamakan sebagai obstruction of justice. Menghalangi keadilan itu sendiri. Kalau semisal bermotif politik gitu kan, apapun hukum yang melakukan itu, itu dinamakan sebagai malicious prosecution, penuntutan jahat. Hal ini sebenarnya harus diclearkan pada saat ini,” jelasnya.
Alvon pun mengingatkan, tidak boleh hukum digunakan untuk menyingkirkan lawan politik.
“Hukum ya untuk hukum,” tutur dia.
“Jangan sampai kekuasaan ini menjadi abuse. Dan jangan juga dipergunakan untuk sesuatu yang jahat atau malicious prosecution,” pungkasnya.