Ikuti Kami

Marak OTT KPK, Hasto Pertanyakan Sistem Pencegahan Korupsi

PDI Perjuangan mempertanyakan apakah OTT tersebut murni merupakan pemberantasan korupsi ataukah hanya kepentingan politik semata.

Marak OTT KPK, Hasto Pertanyakan Sistem Pencegahan Korupsi
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Jakarta, Gesuri.id - PDI Perjuangan geram dan marah atas berbagai tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan kemanusiaan. Oleh sebab itu, PDI Perjuangan sudah memberikan sanksi tertinggi yang bisa dilakukan, yakni pemecatan seketika serta tidak mendapat bantuan hukum dan mengakhiri karier politik pelaku korupsi.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (10/6).

"Tetapi kenapa masih terjadi? Begitu banyak kepala daerah yang sudah ditangkap, lalu apakah memang sudah begitu rusak karakter dan mentalitas kita, atau karena sistem pemilihan langsung yang mendorong sikap koruptif, atau pencegahan korupsi yang mandul? Dan pada kenyataannya apakah kita lebih asyik menikmati drama OTT tersebut?," ujar Hasto.

Baca: PDI Perjuangan Tegas Tindak Kader yang Terlibat Korupsi

Hasto menegaskan, PDI Perjuangan mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi dan tercatat sebagai Partai yang langsung memberikan sanksi maksimum bagi para koruptor.

“Saat ini saya sedang berada di Kota Blitar dan Tulungagung. Banyak yang bertanya, apakah OTT ini murni upaya pemberantasan korupsi, atau sebaliknya, ada kepentingan politik yang memengaruhinya? Hal ini mengingat bahwa yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki elektabilitas tertinggi dan merupakan pemimpin yang sangat mengakar. Samanhudi misalnya, terpilih kedua kalinya dengan suara lebih dari 92%," imbuh Hasto.

Hasto mengayakan, adanya kesan kepentingan politik ini dapat dicermati pada kasus “OTT” terhadap Samanhudi, Wali Kota Blitar dan Sahri Mulyo calon bupati terkuat di Tulungagung.

Menurutnya, mereka berdua tidak terkena OTT secara langsung. Namun mengapa beberapa media online tertentu di Jakarta dalam waktu yang sangat singkat memberitakan OTT kedua orang tersebut, seakan menggambarkan bahwa keduanya sudah menjadi target dan memang harus ditangkap baik melalui OTT langsung maupun tidak langsung.

"Dan faktanya, yang ditangkap di Kota Blitar adalah seorang penjahit, dan bukan pejabat negara. Lalu di Tulungagung seorang kepala dinas dan perantara, bukan Sahri Mulyo. Kesemuanya lalu dikembangkan bahwa hal tersebut sebagai OTT terhadap Samanhudi dan Sahri Mulyo. Ada apa dibalik ini?
," tanya Hasto.

Hasto mengatakan, PDI Perjuangan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada KPK manakala OTT tersebut dilakukan dengan berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dalam hukum dan sesuai mekanisme hukum itu sendiri.

Dalam kesempatan itu, Hasto juga mempertanyakan apakah OTT tersebut tidak dipengaruhi oleh kontestasi pilkada.

"Siapa yang bisa memastikan hal ini bahwa segala sesuatunya dilakukan secara proper dan sesuai mekanisme hukum yang jujur dan berkeadilan?" katanya.

Sebab di masa lalu, kata Hasto, terdapat oknum KPK yang tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan di luarnya.

"Misal terkait dengan pencoretan bakal calon menteri yang dilakukan tidak sesuai prosedur dan nampak ada vested interest; demikian halnya terhadap kebocoran sprindik Anas Urbaningrum, misalnya," kata Hasto.

Hasto mengungkapkan, apabila yang dilakukan oleh KPK tersebut sudah benar-benar sesuai SOP, tidak ada kepentingan lain kecuali niat suci dan mulia untuk memberantas korupsi tanpa kepentingan subyektif demi agenda tertentu, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang akibat korupsi.

"Tetapi lebih jauh lagi, hal tersebut sudah menyentuh aspek yang paling mendasar: kegagalan sistem pencegahan korupsi negara," tegas Hasto.

Quote