Jakarta, Gesuri.id - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, menyinggung keputusan panitia kerja revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang tak mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam pembahasan tersebut.
Menurut Megawati, putusan MK bersifat final dan mengikat yang semestinya menjadi rujukan Badan Legislasi DPR dan pemerintah dalam menyusun serta membentuk Undang-Undang. Akan tetapi, Panja tak mengakomodasi dua putusan Mahkamah tersebut.
"Mengakali putusan MK adalah pelanggaran terhadap konstitusi," kata Megawati dalam pidatonya di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, Kamis, (22/8).
Adapun, pada 21 Agustus lalu, delapan dari sembilan fraksi partai politik di Baleg DPR kompak menyetujui hasil pembahasan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada. Hanya fraksi PDIP yang menolak hasil pembahasan tersebut.
“Fraksi PDI Perjuangan menyatakan tidak sependapat dengan RUU tersebut untuk dibahas pada tingkat selanjutnya,” ujar anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Muhamad Nurdin saat membacakan pandangan fraksi.
Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidowi, membantah jika Panja berupaya menyiasati dua putusan MK dalam pembahasan revisi UU Pilkada. Ia berdalih DPR bersama pemerintah tidak mengubah maupun membatalkan putusan MK. Panja justru mengadopsi putusan MK tersebut dengan kemudian lebih mendetailkan.
“Tidak ada membatalkan, tapi lebih dikerucutkan, lebih dieksplisitkan,” ujar dia. Namun nyatanya aturan yang dibuat DPR melanggar putusan MK.
Politikus PPP itu kembali menepis jika pembahasan revisi Undang-undang Pilkada berlangsung cepat dan baru dilakukan seusai putusan MK. Baidowi menjelaskan, pembahasan revisi Undang-undang Pilkada sempat tertunda karena pelaksanaan pemilu kendari surat presiden untuk pembahasan revisi undang-undang ini sudah ada sejak Januari.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, pun mendukung pernyataan rekannya yang berada dalam Koalisi Indonesia Maju plus tersebut. Ia mengatakan, hasil rapat panja adalah untuk memberi persentase seadil-adilnya, khususnya kepada partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Adapun partai yang telah memiliki kursi di DPRD, acuannya tetap 20 persen sebagai syarat maju pencalonan.
Menurut dia, kekacauan bisa terjadi jika sebagian memakai ambang batas berdasarkan jumlah kursi, dan sebagian lagi menggunakan syarat pencalonan mengacu pada jumlah suara.
"Nanti saat pendaftaran ke KPU-nya bagaimana?” ujar Yandri. “Soal adil atau tidak, itu tergantung penafsiran masing-masing. Undang-undang harus ada kepastian hukum.”
Pada 20 Agustus, MK menerbitkan dua putusan terkait denga pilkada. Dua putusan itu, ialah putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXI/2024.
Pada putusan 60, MK menyebutkan, partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah. Ambang batas pencalonan kini berada di rentang 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut.
Sedangkan pada puutusan nomor 70/PUU-XXII/2024. MK menyatakan, syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pasangan calon di pilkada mendaftarkan diri, bukan saat pelantikan seperti yang diputuskan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024.
Namun, rumusan Panja Baleg adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan syarat ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah tetap 20 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Dalam rumusan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Nomor 72, Baleg DPR juga mencantumkan perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-undang Pilkada. Panja Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Anggota Baleg DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Muhamad Nurdin mengatakan, keputusan panja Baleg DPR merevisi Undang-undang Pilkada dapat menjadi preseden buruk terhadap hukum. Menurut dia, tidak ada satu pun negara yang dapat mengintervensi putusan lembaga tertinggi hukum, termasuk lembaga politik seperti DPR. Sebab, putusan MK adalah final dan mengikat.
"MK, baik dalam putusan maupun pertimbangannya, telah mengatur secara rinci dan jelas tanpa perlu ditafsirkan kembali,” ucap Nurdin.