Yogyakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VIII DPR RI, MY Esti Wijayati, menyayangkan masih adanya diskriminasi yang dialami Komunitas Sedulur Sikep, yang merupakan para penghayat ajaran Samin Surosentiko di Jawa Tengah.
Diskriminasi itu terjadi dalam pelayanan administrasi kependudukan berupa pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).
MY Esti menegaskan, pada saat warga negara tidak memiliki identitas kewarganegaraan maka hak-hak dasarnya pun akan sangat susah dipenuhi, bahkan tidak didapatkan.
Baca: MY Esti Tegaskan Saifuddin Ibrahim Bisa Dijerat UU ITE!
"Diskriminasi masih terjadi dari para petugas di tingkat bawah terhadap komunitas Sedulur Sikep, meskipun undang-udangnya sudah mengatur dengan jelas dan tegas," ujar Esti, baru-baru ini.
Esti mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 ayat 5, telah menyatakan:
"Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.“
Oleh karena itu, MY Esti menegaskan bahwa pelayanan adminduk bagi komunitas Sedulur Sikep harus diberikan sebagaimana kepada warga negara Indonesia lainnya.
MY Esti menegaskan, Komunitas Sedulur Sikep tidak boleh mengalami diskriminasi dalam bentuk apapun.
"Terlebih sejak dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, para penganut kepercayaan dapat mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama dalam KTP," tegas Anggota DPR dari Dapil DI Yogyakarta itu.
Seperti diketahui, Komunitas Sedulur Sikep sebagai penghayat ajaran Samin Surosentiko hingga hari ini masih eksis dengan segala ajaran dan laku hidupnya. Mereka menyebar di sejumlah daerah di Jateng, seperti Blora, Pati dan Kudus.
Baca: MY Esti: Penghayat Kepercayaan Jangan Dipersulit Masuk TNI!
Salah satu tokoh Samin, Gun Retno atau Kang Gun pernah mengungkapkan, komunitas nya masih mengalami diskriminasi, terutama dalam hal pengesahan identitas kependudukan.
Diskriminasi itu berkaitan dengan prinsip warga Samin yang tidak menyandang identitas keagamaan tertentu, sebagaimana enam agama yang resmi diakomodir Undang-Undang.
Padahal, negara telah memfasilitasi dengan menghadirkan alternatif ‘penghayat’ untuk penganut ajaran atau kepercayaan lokal seluruh Indonesia.
"Bahkan, tak jarang pula kasus ketika salah satu sedulur mengurus KTP, tahu-tahu kolom agamanya diisi dengan salah satu agama yang diakui Undang-Undang. Hal seperti ini menurutnya terjadi baik di Blora, Kudus maupun Pati," ungkap Kang Gun.