Jakarta, Gesuri.id - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan DKI Jakarta mengritik langkah Pemerintah dan DPR merevisi undang-undang, menjelang pergantian pemerintahan.
Revisi undang-undang tersebut, dinilai terlalu berambisi demi kepentingan kelompok tertentu.
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah (Badiklatda) DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak mengatakan, Pemerintah pusat seakan tidak puas mengutak-atik regulasi sesuai keinginan mereka.
Dia mencatat, ada beberapa undang-undang yang diduga akan diubah untuk kepentingan pemerintahan selanjutnya.
Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keempat, Undang-Undang Polri serta Undang-Undang TNI.
"Perubahan banyak undang-undang sebelum berkuasa, dengan cara yang tidak umum, adalah ciri awal otoritarian di negara otoriter,” ujar Gilbert, baru-baru ini.
Untuk membahas topik ini lebih lanjut, berikut wawancara dengan Gilbert Simanjuntak.
Bagaimana Anda melihat revisi beberapa undang-undang yang dilakukan DPR belakangan ini?
Mengubah banyak undang-undang sebelum berkuasa dengan cara yang tidak umum, adalah ciri awal otoritarian di negara otoriter.
Saat ini, beberapa undang-undang yang mendasar untuk pembagian kekuasaan sudah mulai diutak-atik, sebelum mulai bekerja.
Apa dampak dari utak-atik aturan sebelum berkuasa?
Kesan yang timbul dari pemerintahan yang akan datang, adalah nafsu berkuasa partai politik yang tak mengindahkan amanah rakyat. Kondisi ini, sepatutnya menimbulkan alarm kewaspadaan pada masyarakat madani, karena seakan kembali ke kondisi sebelum Reformasi 1998 yang banyak membutuhkan pengorbanan masyarakat.
Dari pantauan Anda, undang-undang apa saja yang sedang direvisi?
Revisi Undang-Undang Polri dan Undang-Undang TNI, revisi Undang-Undang Penyiaran, revisi Undang-Undang Kementerian Negara, dan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Politisi Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menilai, perubahan undang-undang demi menyesuaikan kebutuhan saat ini. Bukan otoriter. Ada tanggapan?
Selama perang dingin, tiga dari empat kehancuran demokrasi karena kudeta militer. Demokrasi hancur karena kekuatan militer dan pemaksaan. Walau kurang dramatis, tetapi sama destruktifnya.
Apa akibatnya?
Demokrasi hancur di tangan pemimpin yang terpilih secara demokratis. Ini bisa kita lihat pada Hitler, Chavez, Maduro (pengganti Chavez), dan kasus di negara Georgia, Hungaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Turki dan Ukraina.
Demokrasi mereka hancur, dimulai dari kotak suara. Cara mereka menjadi otoriter melalui pengadilan dan badan lainnya yang seharusnya netral atau sebagai penjaga. Mereka memulai kehancuran dengan cara mengubah aturan.