Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti menegaskan agar pengajuan kebaya ke Unesco dilakukan secara single nomination dan menolak dilakukan secara bersama-sama dengan negara lain.
Sikap tegas tersebut disampaikan Agustina Wilujung Pramestuti dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI dengan Kebaya Foundation dan Tim Nasional Hari Kebaya Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/8).
Dalam RDPU itu, Ketua Umum Kebaya Foundation Tuti N Roosdiono yang juga anggota Komisi IX DPR RI.
Baca: Puan Ajak Masyarakat Terlibat Dalam Pembangunan Bangsa
“Kebaya itu harga mati milik Indonesia, karena itu kita mengambil sikap tegas mendaftarkan kebaya ke Unesco secara ‘single nomination’ atau nominasi tunggal, tidak dibarengkan dengan negara lain,” ujar Agustina.
Meskipun mendaftarkannya sulit, butuh waktu lama maupun antrean panjang, kata Agustina, tetap harus dilakukan secara sendiri.
“Yang penting tetap semangat dan terus bergerak, dan ini juga bisa sekaligus meningkatkan perekonomian bangsa melalui kebaya,” tukas politikus PDI Perjuangan itu.
Batik, katanya, dulu juga sempat mau diakui negara tetangga (Malaysia), kata Agustina, tetapi akhirnya Unesco mengakui Batik sebagai Warisan Budaya Dunia dari Indonesia.
Sebelumnya Ketua Kebaya Foundation, Tuti Roosdiono berterima kasih atas sikap dan dukungan Komisi X DPR RI tersebut.
“Sejak abad 15 kebaya sudah digunakan oleh perempuan Indonesia di berbagai daerah di Nusantara, karena itu kita harus memperjuangkan pengajuan kebaya secara ‘single nomination’ untuk kepentingan bangsa dan negara,” papar Tuti Roosdiono.
Baca: Makna Kebaya & Batik yang Dipakai Puan di Sidang Tahunan
Berbagai kajian sejarah, kata Tuti, menunjukkan bahwa kebaya digunakan bukan hanya sebagai pakaian, melainkan juga sebagai tradisi dalam berbagai kehidupan rakyat Indonesia dan juga dalam ritual kegamaan.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Rano Karno mengingatkan bahwa Bung Karno pada tahun 1940-an telah menetapkan kebaya sebagai identitas perempuan Indonesia. Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955, Bung Karno menjadikan kebaya sebagai alat diplomasi budaya. “Kebaya itu bukan sekedar pakaian, tapi bermakna kesetaraan dan emansipasi perempuan, bahkan menjadi simbol perjuangan,” jelas Rano.
Karena itu, Rano Karno meminta agar pemerintah segera menetapkan Hari Kebaya Nasional, dan penetapan ini sekaligus melanjutkan visi besar Bung Karno di mana kebaya menjadi alat diplomasi budaya.