Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VII DPR RI Paramitha Widya Kusuma menanggapi rencana manajemen PT Pertamina (Persero) untuk menghapus BBM jenis Premium dan Pertalite.
Hal itu diungkapkan Paramitha saat Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII DPR dengan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati baru-baru ini.
Politikus muda PDI Perjuangan itu mengatakan, pada dasarnya dia setuju dengan upaya untuk mengurangi emisi karbon jangka panjang. Namun Paramitha meminta Pertamina untuk tidak membodohi masyarakat dengan menggunakan alasan tersebut untuk menghapus Premium dan Pertalite.
Baca: Ini Efek Kejut Ahok, RS Pertamina Jaya Dilayani dengan Robot
"Karena,setahu saya belum ada satu pun penelitian yang menunjukkan bahwa Premium dan Peralite jelas merusak lingkungan, karena sejak tahun 2005 sudah tidak ada BBM kita yang mengandung timbal," ujar Paramitha.
Paramitha melanjutkan, jika kita semua harus menggunakan BBM oktan tinggi seperti pertamax, permasalahannya adalah BBM jenis itu memiliki kandungan HOMC. Dan kilang-kilang di negeri ini belum mampu memproduksi HOMC sesuai kebutuhan.
"Kalau pun ada, seperti TPPI di Subang itu katanya sudah bisa produksi HOMC tapi kapasitasnya sedikit sekali. Kemudian kandungan lain di BBM itu ada sulfur, kalau mau BBMnya kualitas tinggi berarti kandungan sulfurnya harus dikurangi, nah konfigurasi kilang-kilang Pertamina ini kan belum siap," ujar Paramitha.
Paramitha melanjutkan, RDMP di Balikpapan, yang katanya bisa menghasilkan BBM kualitas EURO V itu juga baru akan selesai tahun 2023. Dan kapasitasnya juga tidak memadai.
"Kebutuhan minyak Indonesia ini sekitar 1,6 -1,7 juta barel per hari. Sementara kilang-kilang kita hanya mampu mengolah sekitar 1 juta. Dari 1 juta barel yang diolah itu, paling hasilnya sekitar 800 ribuan yang bisa digunakan. Berarti ada selisih sekitar 800 ribu dengan kebutuhan," papar Paramitha.
Jadi, lanjut Politikus asal Brebes ini, nanti kalau seluruh masyarakat harus pakai pertamax, kita tidak hanya harus impor campurannya (HOMC), tapi juga harus mengimpor produknya, yaitu BBM kualitas tinggi. Padahal selama ini Indonesia sudah terbebani karena harus impor minyak mentah.
Baca: Digaji Rp170 Juta Oleh Pertamina, Ahok Kangen Jadi Gubernur
"Nah kalau harus pakai pertamax berarti kita harus impor minyak mentah, impor kandungan HOMCnya, dan bahkan kita juga harus impor produk BBMnya. Impor campuran dan impor produk ini kan sangat mahal Bu. Makin defisitlah neraca migas kita," ujar Paramitha.
"Saya tidak bisa membayangkan nanti, negara kita ini dalam tanda kutip sudah tidak punya national oil company, kemudian ketergantungan impor migasnya tinggi, tentunya ini kan menurunkan bargaining kita di mata dunia," tambahnya.