Jakarta, Gesuri.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dianggap sudah tepat karena presentase ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20 persen sesuai konstitusi.
"Kami sampaikan terima kasih kepada MK karena mendengar semua pihak bahwa proses terkait presidential threshold (PT) yang diputuskan DPR sudah sesuai konstitusi," kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (11/1).
Dia mengatakan, pendapat pemerintah terkait jumlah PT itu sudah disampaikan dalam Sidang MK yaitu presentasenya tidak melanggar UUD 1945. Menurut dia, selama ini membuka peluang ketika ada pihak yang tidak setuju dengan jumlah PT tersebut agar bisa diuji di MK.
"Termasuk Perppu yang disetujui MK karena menyangkut prinsip ideologi negara yang harus dipertahankan sesuai amanat UUD 1945," ujarnya.
Dia menjelaskan, apabila masih ada pihak yang nilai Putusan MK itu tidak demokratis, itu merupakan hak tiap orang untuk berbeda pendapat dan dikemukakan di publik. Namun, Tjahjo menekankan bahwa presentase PT yang telah disetujui dan sudah mendengarkan aspirasi berbagai pihak serta berdasarkan UU.
"Mari hormati Putusan MK karena pemerintah memberikan kesempatan peluang untuk diuji seperti proses hukum di MK," ucapnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, hari ini.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur ambang batas partai politik atau gabungan parpol mencalonkan Presiden atau presidential threshold.
Dalam pasal tersebut partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam pertimbangannya, MK menilai PT relevan untuk memperkuat sistem presidensial dan Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar Pilpres 2014. Selain itu, MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.