Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi I DPR RI, H Rachmat Hidayat, mengkritik keras langkah Gubernur Lalu Muhamad Iqbal yang membebankan seluruh biaya Panitia Seleksi Calon Pengurus Bank NTB Syariah pada anggaran internal bank. Gubernur telah mempertontonkan tindakan yang menjadikan Bank NTB sebagai kas daerah kedua.
Praktik yang ditunjukkan Gubernur tersebut merupakan tindakan keliru. Bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik, membahayakan masa depan kelembagaan Bank NTB Syariah, dan menjadi preseden buruk lantaran berpotensi melanggengkan praktik moral hazard serupa di masa depan.
"Menerbitkan SK Pansel Pengurus lalu membebankan seluruh biayanya ke internal bank adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan. Bank daerah bukan kas tambahan pemerintah," tandas Rachmat di Mataram, Senin (28/4/2025).
Surat Keputusan tentang Panitia Seleksi Pengurus Bank NTB Syariah tersebut ditandatangani Gubernur NTB pada 15 April 2025. Dalam beleid Nomor 100.3.3.1.-197 Tahun 2025 tersebut, Gubernur menetapkan empat diktum. Diktum ketiga menyebutkan secara terang benderang bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan sebagai akibat ditetapkannya Keputusan Gubernur tersebut, dibebankan pada anggaran Bank NTB Syariah.
Rachmat menegaskan, meskipun milik pemerintah daerah, Bank NTB Syariah adalah entitas bisnis atau badan usaha yang harus dikelola secara profesional. Karena itu, setiap langkah yang membebani bank dengan biaya di luar kegiatan bisnis normalnya, sudah pasti mencederai prinsip tata kelola perusahaan yang sehat atau good corporate governance.
Bank daerah kata Rachmat, memiliki independensi. Itu sebabnya, bank milik daerah harus tetap profesional dan menjaga jarak yang sehat dari intervensi pemerintah.
Itulah cara terbaik bank untuk tetap kredibel di mata publik dan regulator.
"Menyuruh bank daerah membiayai Pansel seleksi pengurus lewat SK Gubernur adalah praktik keliru yang membahayakan independensi dan kredibilitas bank," tandas Rachmat.
Apalagi, kata politisi kharismatik Bumi Gora ini, dalam Keputusan Gubernur tersebut sama sekali tidak mencakup rencana anggaran biaya. Hal yang bisa menjadikan biaya pansel seleksi Bank NTB Syariah ini menjadi no limit. Tanpa batasan yang jelas, boleh jadi, segala macam bentuk kegiatan dapat ditagihkan.
Pun juga tidak dijelaskan pembiayaan ini harus mengambil pos anggaran apa di Bank NTB Syariah. Sungguh tak elok sekali, jika biaya untuk Pansel harus dibebankan kepada biaya operasional bank. Mengingat anggaran tersebut merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya. Juga tak bertanggung jawab jika dibebankan pada anggaran CSR bank, karena merupakan dana yang disisihkan untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan lingkungan.
"Terbitnya Keputusan Gubernur ini sebuah preseden buruk. Kalau sekarang dibiarkan, ke depannya bisa jadi alat siapa pun yang berkuasa untuk menggunakan dana bank daerah sesuka hati. Ini benar-benar sangat berbahaya," tandas Rachmat.
Legislator Senayan empat periode ini menyebutkan, bukan tidak mungkin, sepuluh Bupati dan Wali Kota di NTB akan melakukan hal serupa. Membuat aneka SK, lalu membebankan pembiayaannya pada anggaran Bank NTB Syariah. Mengingat para Bupati dan Wali Kota memiliki posisi yang sama dengan Gubernur sebagai kepala daerah representasi pemegang saham di Bank NTB Syariah.
Praktik-praktik seperti inilah yang justru kata Rachmat memiliki daya rusak yang sangat besar terhadap bank daerah. Atas nama pemegang saham, kepala daerah justru membuat bank daerah rentan menjadi sapi perah birokrasi. Bukan lagi institusi yang kuat menopang ekonomi daerah.
"Sangat melawan akal sehat. Membebani bank untuk keputusan politik, tetapi menuntut mereka tetap sehat dan profesional," ucap Ketua DPD PDI Perjuangan NTB tersebut.
Rachmat sendiri yakin sepenuhnya, Gubernur Lalu Muhammad Iqbal, ingin memberikan yang terbaik bagi kemajuan Bank NTB Syariah. Gubernur Iqbal disebutnya tidak memiliki beban, sehingga memiliki niat tulus untuk menjadikan bank daerah lebih kuat, lebih sehat, dan lebih profesional. Memastikan Bank NTB Syariah sebagai pilar ekonomi daerah yang kokoh dan mandiri.
Karena itu, Rachmat tidak ingin Gubernur Iqbal terjerat dalam manipulasi. Yakni, tatkala lingkaran dekatnya menyisipkan kepentingan pribadi ke dalam keputusan resmi. Rachmat tak mau, lingkaran sekitar Gubernur NTB berubah menjadi bayangan gelap di balik keputusan-keputusan yang tampak sah secara hukum, tapi malah menyimpang dari kepentingan publik.
"Integritas pribadi saja tentu tidak cukup. Tanpa filter yang kuat, keputusan resmi bisa dimanipulasi dan disusupi kepentingan kelompok di sekitar Gubernur," kata Rachmat.
Manipulasi-manipulasi yang seperti itulah yang diduga Rachmat juga terjadi ketika agenda mutasi jajaran pejabat eselon II Pemprov NTB akhirnya batal pekan lalu. Pelantikan pejabat yang sudah diagendakan pada Jumat lalu tersebut batal meski undangan telah diedarkan dan mereka yang mendapat undangan telah bersiap-siap.
Belakangan muncul penjelasan, bahwa Menteri Dalam Negeri belum menandatangani persetujuan mutasi tersebut. Namun, kata Rachmat, muncul pula banyak informasi. Bahwa surat permohonan persetujuan mutasi ke Menteri Dalam Negeri meski telah ditandatangani Gubernur, tapi surat dimaksud tidak pernah ada di Kementerian Dalam Negeri.
Yang didengar Rachmat, memang ada satu surat permohonan Gubernur NTB di Kemendagri, tapi terkait permohonan yang lain. Yakni permohonan persetujuan satu-satunya pejabat eselon I di NTB yang ingin pindah menjadi tenaga pengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Namun, bagaimana surat tersebut nyelonong lebih dahulu, masih menjadi tanda tanya.
Karena itu, Rachmat pun ingin Gubernur selalu waspada. Mengingat sudah menjadi fenomena nyata, di banyak tempat, permainan lingkaran dalam kepala daerah justru berisiko mengesahkan kepentingan sempit atas nama kebijakan daerah. Sering tersembunyi agenda-agenda tak kasat mata dari lingkaran kecil, yang justru bermain di belakang kepala daerah.
Namun, apapun itu, Rachmat yakin, Gubernur Iqbal mengambil hikmah dari tertundanya mutasi tersebut. Politisi lintas zaman ini yakin, Gubernur NTB menyadari sepenuhnya, bahwa jangan ada tahapan yang terlompati. Bahwa, idealnya, mutasi pejabat daerah memang harus didahului dengan disahkannya dokumen RPJMD yang merupakan perwujudan dari visi, misi, dan program kepala daerah.
Berdasarkan dokumen RPJMD itulah, lalu Gubernur merancang restrukturisasi organisasi perangkat daerah. Mana OPD yang perlu dipertahankan, mana OPD yang akan digabungkan, dan mana OPD yang ditiadakan. Baru kemudian setelah itu, siapa-siapa yang akan mengomandoi OPD tersebut disiapkan, dengan didahului uji kepatutan dan kelayakan dengan basis pada merit sistem.
"Pak Gubernur pasti paham sepenuhnya. Pembangunan daerah yang terarah harus dimulai dengan RPJMD sebagai kompasnya, restrukturisasi OPD sebagai jalannya, dan mutasi pejabat sebagai mesin penggeraknya," ucap Rachmat.
Lagi pula, untuk mutasi di usia pemerintahan yang belum genap tiga bulan, Rachmat mengemukakan, mutasi mungkin belum menjadi prioritas yang mendesak. Mengingat, biasanya prioritas di awal pemerintahan adalah menyusun fondasi pembangunan, bukan sibuk dengan bongkar pasang pejabat. Lebih mendesak bagi Gubernur saat ini kata Rachmat, adalah fokus membenahi masalah nyata yang ada di lapangan.
Di antara persoalan yang mendesak tersebut kata Rachmat adalah persoalan Dana Alokasi Khusus. Rachmat sendiri mendengar bahwa alokasi DAK bagi provinsi NTB telah menjadi bancakan pejabat daerah. Rachmat juga mencermati pemberitaan di media massa, bagaimana bancakan itu terjadi. Lalu kini, persoalan tersebut berkembang menjadi pengajuan hak interpelasi di DPRD NTB.
Rachmat menegaskan, DAK adalah dana dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membantu pembiayaan program pembangunan di daerah yang penentuan alokasinya juga ditentukan Badan Anggaran DPR RI. Mengingat DAK adalah amanah dari pemerintah pusat untuk pembangunan daerah, sebagai Anggota Badan Anggaran DPR RI, Rachmat menegaskan dirinya harus memastikan DAK di NTB tersebut digunakan sesuai dengan tujuan yang benar.
Karena itu, dirinya sangat miris mendengar bagaimana DAK di NTB justru menjadi bancakan. Rachmat kini mengetahui bagaimana seorang Sekretaris Daerah NTB mendapatkan surat somasi terkait dana DAK tersebut. Surat somasi tersebut ditembuskan ke aparat penegak hukum.
Dokumen salinan surat somasi tersebut sudah didapat Rachmat. Terkait dana Rp 12 miliar di dalamnya.
Rachmat juga menyebut, dirinya sudah berkomunikasi langsung dengan pimpinan DPRD NTB. Mengingat, ada gerakan untuk menggagalkan Hak Interpelasi DAK ini. Dalihnya atas nama stabilitas pemerintahan daerah. Dalihnya, perlunya menjaga nama baik pimpinan-pimpinan daerah. Hal yang menurut Rachmat sungguh tidak bertanggung jawab. Sebab, bancakan DAK seperti berita-berita di media massa tersebut, sesungguhnya adalah persoalan penyimpangan keuangan daerah, dan oleh karena itu harus ditangani aparat penegak hukum.
"Ketika Dana Alokasi Khusus berubah menjadi bancakan, maka hak interpelasi dewan bukan hanya perlu. Tapi wajib didukung. DAK yang disalahgunakan adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Hak interpelasi adalah mekanisme sah untuk mengoreksi itu. Gubernur patut mencermati dan mendukung ini," tutup Rachmat.