Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka menilai bahwa keberadaan pagar laut di laut Tangerang, Banten dan Bekasi, Jawa Barat telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan yang dimaksud yakni putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
Para pemohon menyebut pemberian HP-3 menguntungkan pemodal dan merugikan masyarakat adat, nelayan kecil, serta tak sesuai dengan bunyi Pasal 33 konstitusi bahwa kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan PDI Perjuangan Tetap Kokoh
"Melanggar Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010," kata Rieke saat dihubungi, Senin (20/1).
Rieke mengaku mendukung Presiden Prabowo Subianto mengusut tuntas kasus itu dan mengadili para pelakunya. Termasuk jika pelaku tersebut merupakan lembaga di instansi pemerintah seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau Pemda.
"Dukung Presiden @Prabowo usut tuntas kasus #pagarlaut, tangkap dan adili pelaku di semua lini, termasuk di Kementerian dan Lembaga Negara, serta di Pemerintahan Daerah," kata Rieke lewat Instagram pribadinya.
Sementara, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengakui pagar laut misterius sepanjang 30 km di Tangerang sudah bersertifikat hak guna bangunan (HGB).
Nusron mengatakan total ada 263 bidang tanah di atas pagar laut Tangerang yang memiliki sertifikat HGB. Sertifikat-sertifikat itu dimiliki oleh beberapa perusahaan. Mayoritas HGB dikantongi oleh PT Intan Agung Makmur, yakni 234 bidang.
Saham perusahaan juga tercatat dimiliki oleh dua entitas, yakni Kusuma Anugrah Abadi dengan kepemilikan saham sebesar Rp2,5 miliar dan Inti Indah Raya yang memiliki saham Rp2,5 miliar.
Putusan MK tersebut ditetapkan pada 2010 silam. Putusan ini menguji Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil, seperti KIARA, IHCS, KP2PM, KPA, SPI, Yayasan Bina Desa Sadawija, YLBHI, WALHI, API, Tiharom, dan Waun.
Para penggugat menyorot pemberian HP-3 yang diatur sejumlah pasal dalam UU Nomor 27 Tahun 2007. Salah satu pokok permohonan para pemohon adalah pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) berpotensi akan mengusir secara hukum, masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang ruang hidupnya ada di ruang pesisir.
Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional
Para pemohon juga menilai HP-3 lebih berpihak kepada pengusaha, sehingga penguasaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tidak akan tercapai.
Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.
"Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
"Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak mempunyai kekuatan mengikat," demikian poin putusan MK.