Jakarta, Gesuri.id - Revisi kebijakan kehutanan yang komprehensif dan holistik adalah langkah penting untuk memastikan kelestarian hutan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) “Menavigasi Undang-Undang Kehutanan” di Hotel Sofyan, Jakarta, Selasa (18/3).
Baca: Ganjar Pranowo Harap Masalah Gas Melon Cepat Tuntas
Dalam paparannya yang bertajuk “Revisi UU Kehutanan Untuk Mewujudkan Sektor Kehutanan
Yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, Ramah Lingkungan, Dan Berkelanjutan” Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu menyoroti isu-isu kritis yang memerlukan perhatian serius, mulai dari deforestasi hingga perlunya revisi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999.
Adapun beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius diantaranya adalah: Pertama, Deforestasi yang Masif dan Dampak Negatifnya.
“Indonesia mengalami rata-rata deforestasi sebesar 492.950 hektar per tahun sejak 2001 hingga 2024. Puncak deforestasi terjadi pada 2016 dengan lebih dari 1 juta hektar hutan hilang,” ujarnya.
Kedua, ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu adalah Alih Fungsi Kawasan Hutan cecara Ilegal. Menurutnya, banyak kawasan hutan yang berubah menjadi lahan perkebunan, pertambangan, dan pemukiman tanpa izin resmi.
Keruga, Kebakaran Hutan dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana Indonesia menyumbang 0,9 miliar metrik ton CO2e pada 2023, menjadikannya kontributor emisi GRK dari deforestasi terbesar kedua di dunia, setelah Brasil.
Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional
Keempat, Penurunan Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB.
“Sektor kehutanan terus kehilangan daya saing di tengah tekanan ekonomi global dan maraknya praktik ilegal seperti illegal logging,” terang Prof Rokhmin.
Kelima, Konflik Agraria dan Termarginalkannya Masyarakat Adat. Prof Rokhmin menyebut setidaknya asa sebanyak 121 kasus konflik agraria mencakup 2,8 juta hektar wilayah adat, memperburuk ketimpangan di masyarakat.