Ikuti Kami

Rokhmin Dahuri Soroti Isu Kedaulatan Pangan

Untuk itu, ia meminta tiap wilayah di Indonesia berkonsentrasi dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan.

Rokhmin Dahuri Soroti Isu Kedaulatan Pangan
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri.

Jakarta, Gesuri.id - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri menyatakan, bahwa pangan memiliki peran strategis bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.

Untuk itu, ia meminta tiap wilayah di Indonesia berkonsentrasi dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan.

“Pertama, pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM. “You are What you eat” (FAO dan WHO, 2000). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa!” kata Prof Rokhmin Dahuri dengan tema “Pembangunan Kedaulatan Pangan Yang Mensejehterakan Petani Dan Nelayan Secara Berkelanjutan Di Tengah Ketidakpastian Global” Rokhmin Dahuri dalam paparannya pada Economic Talk “Food Security And The Global Uncertainty” PB – HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia) di Jakarta, Senin (15/7). 

Baca: Ganjar Pranowo: Dari Pengacara hingga Gubernur

Kedua, seiiring dengan pertambahan penduduk dunia permintaan berbagai jenis bahan pangan bakal terus meningkat. Ketiga, sementara, suplai pangan global sangat fluktuatif dan cenderung menurun akibat: (1) alih fungsi lahan pertanian; (2) Triple Ecological Crisis (Global Climate Change, Biodiversity Loss, dan Pollution); (3) semakin meningkatnya tensi geopolitik (seperti Perang Rusia vs Ukraina, Genosida Israel terhadap Palestina, dan Rivalitas China vs AS); dan (4) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya demi mengamankan food security bangsanya di tengah risiko global (global uncertainties).

Keempat, akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina, Israel vs Palestina, AS vs China, dunia menghadapi krisis pangan, energi, dan resesi ekonomi (FAO, 2022; Bank Dunia, 2022).

Kelima, kekurangan pangan dapat memicu gejolak politik kejatuhan Rezim Pemerintahan.

Keenam, “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa” (Pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952)..

Ketujuh, suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO, 2000).

Kedelapan, sektor pertanian/pangan (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menyerap sekitar 36% total angkatan kerja (142 juta orang, usia 15 – 64 tahun), dan menyumbangkan sekitar 18% PDB (Kementan, 2022).

Kesembilan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia mestinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).

Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, pada abad terakhir ini terjadi peningkatan dramatis dalam permintaan manusia terhadap segala jenis sumber daya alam. § Pada tahun 2020, untuk pertama kalinya, konsumsi gabungan bahan konstruksi, mineral, bahan bakar fosil, dan biomassa mencapai 100 miliar ton, lebih dari 10 kali lipat dibandingkan tahun 1990.

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Tak Berniat Ikuti Pilkada

Dunia perlu memproduksi setidaknya 50% lebih banyak pangan untuk memberi makan 9,7 miliar orang pada tahun 2050. (Bank Dunia, 2016). § Meskipun meningkatnya permintaan akan sumber daya alam mendorong pertumbuhan ekonomi, hal ini juga memberikan tekanan yang semakin besar terhadap ekosistem bumi, sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan termasuk polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global.

Terkait pengaruh perang dagang terhadap harga tanaman, Prof Rokhmin Dahuri mengungkapkan studi kasus: Tiongkok vs AS.  Meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, dua pemain pasar terbesar di bidang pertanian, hingga saat ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap pasar pertanian.

Pada tahun 2018 ketika perang dagang dimulai, Tiongkok membeli produk pertanian dari petani Amerika senilai $9,3 miliar, turun dari $14 miliar pada tahun sebelumnya.

“Tiongkok telah secara efektif berhenti membeli produk pertanian AS, sehingga hal ini memberikan banyak tekanan pada harga. Departemen Pertanian AS kemudian melakukan intervensi untuk memberikan kompensasi kepada petani sebesar $28 miliar atas rendahnya harga dan hilangnya penjualan akibat perselisihan tersebut.” Terangnya mengutip JP Morgan (2019)

Quote