Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI I Ketut Kariyasa Adnyana menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sangat urgen dan penting keberadaannya yakni sebagai payung hukum di dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, baik kekerasan seksual yang terjadi di perusahaan-perusahaan ataupun di tengah masyarakat.
Baca: Ganjar Minta Vaksin Jangan Atas Kelompok Atau Titipan DPR
“Selama ini ketika terjadi kekerasan seksual, susah untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum karena payung hukumnya belum jelas. Di KUHP sendiri memang belum tercantum. Oleh karenanya UU PKS ini nantinya akan menjadi jawaban. Undang-undang ini bukan berarti menjadi undang-undang yang liberal, tetapi undang-undang ini akan memberikan perlindungan terhadap wanita,” kata Ketut Kariyasa di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (31/8).
Ia menyampaikan, selama ini banyak terjadi kasus pelecehan seksual namun banyak korbannya yang enggan untuk melaporkannya karena payung hukum untuk penanganan persoalan kekerasan seksual ini dianggap belum jelas, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menindaklanjutinya.
“Undang-Undang PKS akan bisa menjawab bagaimana akibat dari kekerasan seksual ini dan diharapkan bisa memberikan keamanan bagi generasi muda dan kaum wanita dari tindak kekerasan seksual,” tutup Anggota Komisi IX DPR RI itu.
Upaya untuk merealisasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual memang harus menjadi perjuangan Bersama demi mewujudkan negara yang adil dan makmur, serta aman bagi seluruh masyarakat. RUU PKS telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021, setelah pembahasannya sempat jalan di tempat.
Baca: 7 Fraksi Tolak Interpelasi, Kenyang Makan Malam Dengan Anies
RUU PKS dinilai sangat urgen, mengingat saat ini kekerasan seksual yang baru diatur dalam KUHP hanya mengkasifikasi dua jenis kekerasan, yakni perkosaan dan percabulan. Di luar dua kategori itu, penyintas kerap kesulitan mengakses keadilan, seperti penyiksaan seksual, perbudakan seksual, pelecehan seksual nonfisik, itu semua belum ada ketentuannya. Hal ini mengakibatkan ribuan penyintas yang mengalami masalah itu tidak bisa mengakses keadilan.