Jakarta, Gesuri.id - Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah merespons positif keputusan Presiden Prabowo yang meminta para pengusaha untuk melakukan reformasi atas kebijakan impor. Ia mendorong pemerintah untuk menghapus kebijakan kuota impor.
Said mengatakan, sistem kuota yang selama ini dipakai dalam menjalankan kebijakan impor seringkali menjadi ajang berburu rente, antara pemilik otoritas dengan pengusaha kroninya.
Seperti kasus kuota impor beras tahun 2007, kasus kuota impor daging sapi tahun 2013, kasus kuota impor gula kristal tahun 2015, kasus kuota impor bawang putih tahun 2019.
Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional
"Munculnya sederet kasus ini, kami di Badan Anggaran DPR pada 21 Februari 2020 sudah meminta pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dengan sistem kuota menjadi penerapan impor berbasis tarif," ujar Said, Rabu, 9 April.
Said mengungkapkan, pada 17 Maret lalu, Banggar DPR telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dari sistem kuota menjadi pengenaan tarif. Dengan bertumpu pada kebijakan tarif, menurutnya, selain mendapatkan barang impor yang lebih fair dan kompetitif, pemerintah juga berpeluang mendapatkan penerimaan negara terutama dari bea masuk.
"Namun khusus untuk barang barang impor komoditas hajat hidup orang banyak perlu mendapatkan pembebasan tarif," ungkapnya.
Oleh karena itu, Legislator PDI Perjuangan dari Dapil Jawa Timur itu menyambut baik langkah Presiden Prabowo yang bertemu pengusaha usai kebijakan tarif diberlakukan Presiden AS, Donald Trump. Di mana, Presiden Prabowo memerintahkan agar menghapus kebijakan kuota impor untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Arahan Presiden Prabowo ini tentu menjadi angin segar bagi perbaikan kebijakan impor," kata Said.
Said menilai, momentum ini bisa menjadi reformasi menyeluruh atas kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Secara makro, menurutnya, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus.
"Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik. Kebijakan tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan mereka tidak defisit kian mendalam," ucapnya.
Said mengatakan, kebijakan impor hendaknya diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya didalam negeri. Namun ke depan, kata dia, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan atas barang barang impor dengan produksi sendiri.
"Dengan arah strategisnya kita bisa menjadi negara yang relatif mandiri, setidaknya dari sektor primer, yakni pangan dan energi," katanya.
Selain itu, menurut Said, kebijakan impor harus mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional. Dengan arah strategis, kata dia, upaya memperkuat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) semakin besar porsinya.
"Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya," tuturnya.
Baca: Ganjar Pranowo Harap Masalah Gas Melon Cepat Tuntas
Karena makin kompleksnya kebutuhan terhadap produk barang dan jasa, serta kait mengait dari rantai pasok, Said menilai, pemerintah dan pelaku usaha seharusnya tidak menyandarkan kebutuhan impor barang dan jasa dari negara tertentu. Akan tetapi perlu memperluas dari beberapa negara, sehingga pemerintah dan pelaku usaha memiliki berbagai alternatif negara tujuan impor.
"Langkah ini untuk menghindari ketergantungan impor terhadap negara tertentu," sebutnya.
Said menilai, pemerintah perlu melakukan deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi. Ia berharap, deregulasi bukan hanya mempermudah akses rakyat terhadap komoditas tersebut, tetapi juga tingkat harga yang lebih terjangkau.
"Sehingga barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah," katanya.