Jakarta, Gesuri.id - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan subsidi kendaraan listrik.
Said Abdullah mengatakan dirinya memang mengapresiasi rencana pemerintah untuk percepatan peralihan kebijakan transportasi berbasis listrik.
Baca: Hasbi: Tidak Mungkin Bupati Larang Umat Kristiani Beribadah
Menurutnya, langkah tersebut akan mengoreksi besar-besaran ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak (BBM).
"Langkah ini akan mengoreksi besar-besaran ketergantungan kita terhadap BBM. APBN kita juga memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan harga minyak dunia," kata Said Abdullah dalam keterangannya, Senin (19/12).
Sebagai mitra kerja pemerintah pada bidang anggaran, Said pun memberikan beberapa pertimbangan strategis terhadap rencana subsidi kendaraan listrik.
Pertama, Said menyebut pemerintah telah membuat Perpres No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
"Arahnya untuk mendorong terciptanya ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), khususnya motor dan mobil," ujarnya.
Ia menuturkan ekosistem ini terkait lingkungan strategis untuk menopang tumbuhnya inovasi produk, kesiapan teknologi dan bahan baku, investasi, infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang ultra fastcharging dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).
"Kesemua perangkat strategis ini harus tumbuh bersama secara pararel," ungkap legislator PDIP itu.
Kedua, Said menjelaskan dalam rangka menumbuhkan ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemerintah melalui Perpres No 55 tahun 2019 juga memberikan nilai tambah terhadap kebangkitan industri dalam negeri.
Karena itu, kata dia, aspek seperti Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga diatur secara bertahap dan komponen TKDN besarannya diharapkan meningkat dari target waktu yang ditentukan.
"TKDN untuk roda dua pada tahun 2026 minimum 80 persen dan 2030 untuk roda empat minimun 80 persen. Kita berharap target ini bisa konsisten dipenuhi," ucap Said.
Ketiga, Said menerangkan pemerintah juga mengedepankan pelaku-pelaku industri dalam negeri sebagai subjek penting bagi terciptanya ekosistem KBLBB.
Meskipun, sejumlah teknologi penting masih dikuasai pelaku industri luar negeri.
Kendati demikian, ia meminta pemerintah agar memberikan dukungan insentif terhadap penanaman modal dalam negeri untuk industri kendaraan listrik.
"Jika skemanya investasi asing, maka perlu melibatkan rantai pasok produksi oleh mitra-mitra nasional lebih banyak, baik BUMN maupun swasta domestik," ungkap Said.
Keempat, Said mengungkapkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan insentif perpajakan untuk KBLBB melalui berbagai kebijakan.
Kebijakan itu, yakni tax holiday 20 tahun, super deduction hingga 300 persen atas biaya penelitian dan pengembangan pembangkit tenaga listrik, baterai, alat kelistrikan, pembebasan PPN atas bahan baku pembuatan baterai.
Kemudian, pembebasan PPN atas impor barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik untuk industri KBLBB, perbedaan tarif PPnBM untuk KBLBB sebesar 0 persen.
Sedangkan, yang BBM berkisar 15-70 persen, bea masuk impor mobil incompletely knocked down maupun completely knocked down sebesar 0 persen, pengurangan bea balik nama kendaraan bermotor hingga 90 persen.
"Jika ditotal keseluruhan insentif perpajakan ini mencapai 32 persen dari harga jual mobil listrik dan 18 persen dari motor listrik. Dukungan insentif perpajakan ini angin segar bagi industri KBLBB, dan patut kita apresiasi," tegas Said.
Kelima, Said menegaskan pada 22 September 2022 pemerintah mengeluarkan Inpres No 7 tahun 2022 tentang tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) sebagai kendaraan operasional atau dinas pemerintah pusat dan daerah.
"Inpres ini tentu saja akan mendorong permintaan terhadap KBLBB dan angin segar bagi industri kendaraan listrik," jelasnya.
Keenam, ia menuturkan Kementerian Perindustrian merencanakan subsidi kendaraan listrik (mobil dan motor) listrik, yakni untuk mobil listrik Rp 80 juta, mobil hybrid Rp 40 juta, dan motor listrik baru Rp 8 juta.
"Jika subsidi ini akan direalisasikan dalam bentuk uang tunai untuk pembelian mobil dan motor listrik pada tahun depan (2023), maka kami tegaskan tidak ada alokasi APBN 2023 untuk dukungan kebijakan tersebut," ungkapnya.
Karenanya, Said meminta agar kebijakan tersebut harus dikaji. Terlebih, pada tahun 2023 Indonesia harus siap menghadapi situasi ekonomi global yang tidak menentu.
Baca: SMRC: Posisi PDI Perjuangan Tertinggi Jelang Pemilu 2024
"Karena itu kita membutuhkan ketangguhan fiskal pada APBN," ucapnya.
Ketujuh, Said menambahkan rencana subsidi sedemikian besar untuk mobil dan motor listrik sangat tidak sebanding dengan alokasi program perlindungan sosial yang diterima setiap rumah tangga miskin.
"Apakah patut di tengah situasi kita akan menghadapi ekonomi global yang sulit, yang efeknya tentu akan berdampak pada ekonomi domestik lantas kita memikirkan subsidi untuk rumah tangga mampu?" tuturnya.
Apalagi, kata dia, masih lebih dari separuh jumlah rakyat Indonesia belum memenuhi standar makanan bergizi dan prevalensi stunting balita masih tinggi.