Jakarta, Gesuri.id - Sekjen PDI Perjuangan Dr.Hasto Kristiyanto, menyatakan dikotomi sipil-militer tidak perlu karena dari landasan filosofi pertahanan yang disampaikan para pendiri TNI, sangat jelas tentang politik TNI adalah politik Negara.
Baca: Pilpres 2024, Sekjen Hasto Beberkan Beberapa Kriteria
“Sehingga jangan menarik TNI ke dalam ranah politik praktis,” kata Hasto, yang menjadi salah satu pembicara di diskusi yang digelar Para Syndicate Forum bertajuk "Setelah 77 Tahun TNI: Diskursus Sipil-MIliter dan Tantangan Demokrasi di Pemilu 2024" di Jakarta, Kamis (6/10)
Hasto menjelaskan sejarah perjalanan bangsa terkait dengan keterlibatan TNI dalam politik praktis, pada beberapa periode kepemimpinan Indonesia. Dia jelaskan perbedaan doktrin militer era Presiden Soekarno, era Soeharto, dan hingga kini masa Reformasi.
Dia sempat menjelaskan bahwa di era Soekarno yang berlatar belakang sipil, anti kolonialisme dan imperialisme masuk ke dalam doktrin militer. Maka TNI harus dibangun sebagai kekuatan angkatan perang yang memgemban misi perdamaian dunia.
Lalu sempat terjadi masa pasca keluarnya Maklumat X, era demokrasi parlementer. Di dalam periode itu, menjadikan kekuatan-kekuatan militer, laskar-laskar ikut masuk di dalam berbagai manuver-manuver politik praktis yang dilakukan oleh para elite partai. Namun di tengah itu, Indonesia masih mampu merumuskan dan mewujudkan kepentingan nasional mengintegrasikan Papua ke NKRI.
“Karena sejak awal merdeka, dalam perspektif historis dari Sabang-Marauke, merupakan satu kesatuan geopolitik, dan dalam konteks itulah Bung Karno membangun kekuatan militer kita, sehingga menjadi kekuatan militer terkuat di belahan bumi selatan,” ujar Hasto.
Sementara mantan Kepala Staf TNI AL (Kasal) 2002-2005 Laksamana TNI (Purn.) Bernard Kent Sondakh, mengingatkan bahwa ada saja nuansa yang terus berupaya menarik TNI agar berpolitik.
Dijelaskannya, organisasi TNI harus mengacu kepada pasal 10 UUD 1945. Bahwa presiden yang memilih Panglima TNI secara langsung, DPR mengontrol dan mengawasi.
Saat reformasi 1998, TNI harus melepas dwifungsi. Akan tetapi UU TNI menyatakan calon panglima TNI harus melaksanakan fit and proper test di DPR. Hal ini, kata Sondakh, terkesan menarik TNI ke dalam politik praktis.
"Calon panglima bisa terjebak kepentingan parpol. Selalu ada perwira yang jadi petualang politik, mendekati parpol karena parpol masih punya kekuatan untuk menentukan person-person atau pejabat di TNI," kata Sondakh.
Sondakh mengatakan dwifungsi tidak bisa hilang kalau menganggap purnawirawan itu juga militer. "Sekarang ini, dua tahun lagi pemilu sudah ada suara-suara cocok gabungan sipil-militer. Yang bisa jadi capres/cawapres itu pensiunan, tidak boleh lagi dibilang militer. Dikotomi sipil-militer terus dimunculkan tanpa melihat masih aktif atau sudah purna," sebutnya.
Karena itu, Sondakh berharap agar dihilangkan dikotomi sipil militer, jangan munculkan fenomena capres dan cawapres gabungan sipil dan militer. Meski hal ini sulit dilakukan.
"Dikotomi ini susah hilang dan berbahaya karena bisa menimbulkan konflik. Purnawirawan meski sudah purna masih punya hubungan batin dengan yang aktif. Pemanfaatan para mantan ini bisa secara sembunyi-sembunyi. Perlu diperhatikan terutama saat pesta demokrasi, supaya jangan ikut-ikutan TNI dan kembali ke barak. Contoh kasus pemanfaatan kodim/koramil akan terus terjadi kalau ini terus dibawa," urai Sondakh.
Dia menegaskan TNI bertugas membantu polisi dalam mengamankan pesta demokrasi 2024.
Baca: Usung Ganjar, Pacul: PSI Harusnya Bicara dengan Bu Mega Dulu
Sementara Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan ada kesan sipil kurang percaya diri sehingga menarik militer ke politik
"Tarik menarik sipil militer ini apakah karena sipil yang tidak percaya diri dalam kontestasi atau militer yang tergoda masuk ke politik," kata Sri.
Hadir juga sebagai pembicara adalah Dosen Universitas Pertahanan Dr. Kusnanto Anggoro.