Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPRD Kutai Timur, Siang Geah, yang juga berasal dari komunitas Dayak Wehea, memiliki pandangan mendalam terhadap tradisi yang telah diwariskan turun-temurun ini, khususnya perayaan Lom Plai, yang merupakan wujud syukur atas hasil panen padi.
Ia berkeyakinan tradisi Dayak Wahea pasti dipertahankan oleh pemuda di sana.
“Saya optimis pemuda Dayak Wahea pasti melestarikan budaya kami. Sejak kecil kami sudah di kenalkan budaya dan tradisi,” ungkap Politisi PDI Perjuangan ini di Gedung DPRD Kutim, belum lama ini.
Masyarakat Dayak dikenal sebagai salah satu kelompok masyarakat adat terbesar di Indonesia, yang mendiami Pulau Kalimantan atau Borneo.
Mereka terdiri dari tujuh rumpun besar yang meliputi Iban, Klemantan, Ngaju, Ot Danum, Apo Kayan, Punan, dan Murut, dengan lebih dari 400 sub-suku. Dayak Wehea sendiri adalah bagian dari rumpun Apo Kayan, dan salah satu komunitasnya yang paling dikenal kini berada di Kecamatan Muara Wahau, khususnya di enam desa yang didominasi oleh komunitas Dayak Wehea.
Desa Nehas Liah Bing merupakan komunitas Dayak Wehea tertua di Muara Wahau, yang tetap memegang teguh tradisi dan adat istiadatnya.
Sebagai masyarakat adat, kehidupan mereka sangat bergantung pada sumber daya alam di sekitar, baik dari hasil hutan, sungai, maupun ladang. Bagi mereka, alam bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang harus dihormati dan dilestarikan.
Tradisi Lom Plai menjadi salah satu ritual terpenting bagi Dayak Wehea, di mana mereka merayakan hasil panen padi sebagai bentuk syukur dan penghormatan kepada leluhur serta alam yang memberikan berkah. Lom Plai bagi Dayak Wehea bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga cerminan dari interaksi harmonis antara manusia dan alam.
Siang Geah menjelaskan bahwa perayaan Lom Plai tidak hanya merupakan pesta adat, tetapi juga wujud dari filosofi hidup masyarakat Dayak Wehea yang sangat menghargai alam.
“Dalam setiap gerakan dan lagu yang dibawakan selama Lom Plai, terkandung doa dan harapan agar alam terus memberikan keberkahan bagi kami,” ujarnya.
Lom Plai biasanya digelar setiap tahun antara bulan April hingga Mei, sesuai dengan penanggalan adat Dayak Wehea. Pada saat ini, seluruh anggota komunitas berkumpul, bersiap untuk melaksanakan serangkaian upacara yang melibatkan tarian, musik, dan ritual persembahan kepada roh leluhur.
Tarian-tarian seperti Enjiak Hedoq atau Tarian Hudoq menjadi bagian integral dari perayaan ini, yang melambangkan hubungan manusia dengan roh-roh penjaga alam.
Siang Geah menekankan pentingnya menjaga tradisi ini sebagai bentuk perlindungan terhadap identitas budaya Dayak Wehea, yang kini semakin terancam oleh modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
“Lom Plai adalah pengingat bagi kami semua bahwa keberadaan kami tidak bisa dipisahkan dari alam. Jika alam rusak, maka identitas kami juga akan hilang,” tambahnya.
Komunitas Dayak Wehea di Muara Wahau, terutama di Desa Nehas Liah Bing, terus berusaha melestarikan tradisi Lom Plai meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
Bagi mereka, menjaga tradisi ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga bentuk perlindungan terhadap warisan leluhur yang tak ternilai. Lom Plai menjadi simbol ketahanan budaya dan spiritualitas Dayak Wehea, yang mengingatkan mereka akan pentingnya harmoni dengan alam dan keberlanjutan hidup.
Dalam pandangan Siang Geah, perayaan Lom Plai juga memiliki pesan universal yang relevan bagi semua orang, tidak hanya bagi masyarakat Dayak.
“Di tengah krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini, kita semua bisa belajar dari tradisi Lom Plai tentang pentingnya menghargai dan menjaga alam. Kita harus ingat bahwa apa yang kita lakukan terhadap alam hari ini akan berdampak pada generasi mendatang,” tutupnya.
Melalui tradisi Lom Plai, masyarakat Dayak Wehea di Muara Wahau mengajarkan kita semua tentang keseimbangan hidup dan penghargaan terhadap alam. Sebuah pelajaran yang sangat berharga, terutama di era modern yang sering kali melupakan pentingnya hubungan harmonis dengan lingkungan sekitar.